Duh, paling pusing kalau dapat pertanyaan seperti ini di kamar praktek. Karena pertanyaan yang terdiri dari 7 kata itu, jawabannya bisa satu buku textbook sendiri. Dan waktu konsultasi yang cuma 10-15 menit kadang kurang itu belum tentu bisa memenuhi keingintahuan orangtua kenapa anaknya susah makan. Ekspektasi orangtua biasanya cuma satu,”Dok,kasih vitamin yang paling bagus ya, supaya nafsu makannya ada.” Duh, dokternya tambah puyeng kalau begini. Dikasih ya ngga bener, ngga dikasih orangtuanya kecewa. Kesimpulannya, ya tetap ortu harus dijelaskan sampai sedetil-detilnya. Sayangnya, karena kebanyakan ortu pasien-pasien saya datang dari kelompok menengah ke bawah, walaupun sudah dijelaskan berbusa-busa, ya tetap aja banyak yang ga mudeng ;(
Cinta
Bebek
Selasa, 29 Maret 2011
Anak Susah Makan
Duh, paling pusing kalau dapat pertanyaan seperti ini di kamar praktek. Karena pertanyaan yang terdiri dari 7 kata itu, jawabannya bisa satu buku textbook sendiri. Dan waktu konsultasi yang cuma 10-15 menit kadang kurang itu belum tentu bisa memenuhi keingintahuan orangtua kenapa anaknya susah makan. Ekspektasi orangtua biasanya cuma satu,”Dok,kasih vitamin yang paling bagus ya, supaya nafsu makannya ada.” Duh, dokternya tambah puyeng kalau begini. Dikasih ya ngga bener, ngga dikasih orangtuanya kecewa. Kesimpulannya, ya tetap ortu harus dijelaskan sampai sedetil-detilnya. Sayangnya, karena kebanyakan ortu pasien-pasien saya datang dari kelompok menengah ke bawah, walaupun sudah dijelaskan berbusa-busa, ya tetap aja banyak yang ga mudeng ;(
Kamis, 17 Maret 2011
Perjuangan Membuat Tesis
Tesis saya mengalami proses yang panjang dari mulai proposal di tahun 2007 yang membuat saya menangis berdarah-darah dan akhirnya selesai di Maret 2011. Lama amat ya hehehe. Proposal memang sat itu dibuat di awal sebagai uji coba KPS dengan harapan saat masih di modul pun residen sudah bisa mengerjakan tesisnya. Sehingga saat lepas modul tidak berlama-lama maju ujian tesis. Tapi, namanya aja percobaan, kayaknya buat saya (dan mayoritas sejawat saya) ga ngefek tuh, yang anomali aja yang sukses jadi kelinci percobaan hehehe. Apalagi tesis saya adalah studi kohort selama 3 bulan untuk satu pasien. Pernah saya coba ambil sampel saat saya masih di modul, alhasil adalah sampelnya lost to follow semua. Sayang amat ya?
Praktis baru selesai modul di bulan Juli akhir tahun 2010, saya baru bisa leluasa mengambil sampel. Berhubung pasien penelitian saya adalah bayi-bayi lulusan perawatan perinatologi, maka saya mulai mendata dengan mengambil seluruh nama bayi yang dirawat periode Januari-Juni 2010. Tidak semuanya eligible karena yang domisilinya terlalu jauh atau alamat yang aneh tidak saya ambil. Setelah terkumpul 96 nama, maka saya mulai menghubungi orangtuanya via telpon. Tidak semuanya memiliki no telpon, sehingga apabila cukup dekat lokasi rumahnya, maka saya akan datang langsung.
Setelah ditelpon, tidak semuanya bersedia ikut dalam penelitian saya. Pokoknya begitu dengar kata penelitian, langsung saya dimusuhin. Padahal penelitian saya tidak invasif, "cuma" main-main dengan bayinya dan kuisioner untuk ibunya plus gratis. Malah saya ganti ongkos ke RSCM kalau mau datang. Setelah belajar dari pengalaman, saya tidak lagi bilang mau meneliti. Saya bilang saja kalau saya dari Poli Tumbuh Kembang RSCM mau datang ke rumah, mau tau kondisi bayinya pascaperawatan untuk dijadikan bahan masukan data RSCM, supaya pelayanan bisa dievaluasi lagi. Setelah saya pakai jurus itu, baru deh mereka mau ikutan. Sebel ga sih?
Hanya sekitar 30% yang bersedia datang ke RSCM. Itupun setelah diiming-imingi dengan vaksinasi gratis, tidak perlu daftar dan antri, langsung ketemu saya, dapat gimmick dan ongkos jalan. Sisanya keukeuh ga mau datang dengan alasan repot, jauh, ga ada yang antar. Hhhh, akhirnya terpaksa didatangi satu-satu. Berbekal data register perinatologi, saya mencari semua alamat mereka di seluruh penjuru Jakarta. Mencarter Bang Ayi, tukang ojek spesialis pengantar residen PPDS kalau lagi penelitian, saya bagaikan mencari jarum dalam jerami. Kalau alamatnya lengkap dengan no rumah sih langsung ketemu, tapi separuh lebih alamat itu tidak ada no rumah. Cuma RT dan RW paling spesifik. Bermuka tebal (dan lusuh plus berminyak) kami beranikan diri bertanya kepada orang-orang yang ditemui di jalan. Mulai dari tukang ojek, tukang bakso, tukang pos, pak RT/RW bahkan pernah ga sengaja nanya orang yang lagi mabok. Kalau ada no HP sih gampang, kadang no HP yang tercatat di register, salah sambung, ga ada nada sambung, tidak aktif. Huhuhu, mau nangis aja rasanya. Catat ya, 90% pasien Perina itu kan dari sosial ekonomi rendah, jadi bisa dibayangkan kami pergi ke daerah seperti apa.
Jangan mikir kami pergi ke daerah elit kayak Pondok Indah gitu. Kalaupun ada yang rumahnya di Menteng, itu letaknya di pinggir kali atau bawah rel kereta api. Ada yang rumahnya bahkan bekas kandang kambing. Serius lho, itu di daerah Pisangan Baru, dekat rel kereta. Ada yang rumahnya cuma satu kamar petak ukuran 3x3m dihuni satu keluarga dengan 4 orang anak. Ada yang rumahnya pinggir kali Ciliwung yang biasa terendam sepaha kalau lagi banjir. Bahkan saya pernah ke Kampung Pulo yang saking padatnya rumah, saya tidak bisa lagi melihat birunya langit.
Melihat itu semua, saya jadi merefleksikan hidup saya lagi. Betapa beruntungnya saya ini, walaupun saya bukan orang berada, tapi selalu merasa cukup. Walaupun rumah saya masih mengontrak, tapi tidak pernah kebanjiran dan digusur.
Semoga perjuangan saya menemui pasien-pasien kecil saya membuahkan hasil yang sepadan ya? Doakan saya ya temans, agar siap maju tanggal 28 Maret nanti.
Anak Gendut Tidak Lucu Lagi
Selasa, 15 Maret 2011
School For Wildan
Akhirnya kami sepakat menitipkan Wildan menempuh pendidikan dasarnya di Jakarta Islamic School. Banyak pertimbangan yang kami pikirkan masak-masak sebelumnya. Biaya sekolah yang cukup mahal adalah satu yang paling menjadi pertimbangan. Kekhawatiran bahwa Wildan akan bosan dengan jam sekolah yang panjang juga menjadi bahan pemikiran berhari-hari. Tapi, akhirnya kami menetapkan hati dengan membaca Basmallah semoga keputusan ini adalah yang terbaik bagi Wildan.
Toh bila anak orang lain mampu, rasanya Wildan juga akan sanggup bersekolah di sana. Kami juga tidak terlalu khawatir dengan Wildan mengingat dia anak yang cukup ceria, easy to warm-up, mudah bersosialisasi dan cukup mandiri. Kemampuan konsentrasi dan belajarnya semakin hari juga semakin meningkat.
Bukan karena gengsi menyekolahkan anak di sekolah swasta yang berbiaya tinggi, melainkan merupakan kebutuhan, walau bukan keharusan. Kesibukan kami yang sama-sama mencari nafkah dan komitmen tidak memiliki pekerja rumah tangga lagi adalah alasan yang sangat kuat. Setelah survey ke beberapa sekolah, saya merasa kecewa terhadap pendeknya jam sekolah dan padatnya populasi murid dalam satu kelas. Duh, dapat apa nanti ya di sekolah? Ehm, kalau jam 10 sudah pulang, sama siapa di rumah? Masa titip Atung Uti lagi? Nanti di rumah, dia ngapain aja? Nonton TV? Main game? Belum lagi kalau harus les tambahan. Siapa yang antar? Masa Atung lagi? Kan Atung juga makin lama makin sepuh. Kalaupun terpaksa punya asisten lagi, kayaknya mustahil bisa bantu Wildan belajar di rumah. Lah sekolahnya si asisten aja putus, masa mau bantu belajar Wildan?
Seperti mensimulasi diri sendiri akhirnya. Dengan pertanyaan2 itu, akhirnya kami yakin bahwa Wildan sekolah di JIS yang full-day adalah jawabannya. Kontroversi mengenai baik buruknya full-day school terhadap psikologi anak memang masih beredar di kalangan pemerhati pendidikan. Tapi kami berpendapat, memang tidak ada yang sempurna. Tugas kamilah nanti yang menambal ketidaksempurnaan itu.
Pendidikan anak memang tanggungjawab utama orangtua. Sebaik apapun sekolah si anak, orangtua-lah yang memegang kendali penuh. Sangat tidak bertanggungjawab bila melepaskan 100% pendidikan anak terhadap guru dan sekolah. Namun apabila orangtua tidak mampu menyediakan waktu 100% untuk mendidik anak karena satu dan berbagai hal (seperti mencari nafkah), maka seharusnya orangtua mencari mitra pendidik yang dianggap terbaik. Untuk kami, mitra ini haruslah yang memiliki kesamaan visi dan misi dalam membentuk karakter anak, tidak melulu menekankan pendidikan sebatas angka di lembar evaluasi. Biaya pendidikan yang mahal itu merupakan kompensasi untuk kesamaan tujuan dan visi kami.
Mengapa di JIS? Tentunya banyak alasan. Sekolah full-day berbasis lingkungan Islami lainnya dengan visi setara menetapkan biaya yang lebih tinggi daripada JIS dan menurut kami tidak masuk akal. Kedua lokasi sekolah tidak terlalu jauh dan masih memungkinkan Wildan menggunakan angkutan umum untuk berangkat dan pulang sekolah sendiri nantinya. Tentunya saya sangat ingin Wildan mandiri suatu saat nanti. Ketiga , lingkungan sekolahnya termasuk cukup tenang di lingkungan perumahan, tidak dilintasi kendaraan. Last but not least, saya menginginkan Wildan terpapar pada suasana Islami, dengan tutur kata santun, terbiasa mengucapkan salam. Dengan berada pada lingkungan yang baik sedari kecil, kami berharap kelak Wildan mampu memiliki filter yang baik terhadap lingkungan yang buruk. Saya tidak menjadikan Wildan steril, tetapi saya ingin Wildan menjadi imun terhadap paparan penyakit sosial. Bila Wildan memiliki penyaring yang baik, seburuk apapun lingkungannya kelak, maka ia akan mampu memilah mana yang baik, mana yang tidak.
Semoga pilihan kami tidak keliru. Semoga harapan kami tidak terlalu tinggi. Semoga kami bisa menjaga Wildan sebaik-baik yang diharapkan Allah SWT. Semoga kami dapat mendidik Wildan setinggi yang kami dan Wildan mampu. Semoga kami menjadi orangtua yang sebaik-baiknya bagi Wildan. Karena tidak pernah ada sekolah untuk menjadi orangtua yang baik dan sempurna selain dari pengalaman.
Senin, 14 Maret 2011
Lanjutan Peta Makan Pondok Gede
Nyambung postingan kemaren ya….belum selesai nih. Tukang makan kan katalognya panjang hehehe…
Soto
1. Soto Kudus Semarak, Plaza Pondok Gede
Di mal Pondok itu ada beberapa pilihan soto kudus. Semarak yang ada di ruko dekat Cozy Café, Semarak II yang dekat Pegadaian (Ruko belakang Ramayana), Kembang Joyo (ruko belakang Ramayana) dan Hj Khotijah (di dekat bakso Murah lantai I). Kalau lidahku cocok sama Semarak, karena kecapnya asli pakai kecap THG dari Kudus. Kecap THG itu warnanya kuning keemasan dan cenderung lebih manis. Jadi ga bikin kuah soto jadi butek. Lumayan kalau lagi kangen soto Bu Jatmi Kudus. Kalau lagi flu, ga enak badan, diloading pakai soto ini rasanya jadi sedikit sembuh.
2. Soto Ayam Lamongan “Barokah”
Aku sih biasa beli di tempatnya yang baru, samping Bank Mandiri Pondok Gede. Di lokasi ini memang baru dibuka, tapi si bapak yang jualan punya banyak cabang. Di Gamprit depan TK Martha, di Bojongtua, di dekat SD Jatiwaringin (entah berapa). Rasanya sih standar aja, kayak soto ayam yang lain. Tapi sambalnya dong, menggigit banget. Sedikit aja langsung bikin kuping berasap. Belum pernah makan langsung di sana, seringnya dibawa pulang. Makan bareng2 di rumah dengan ayah dan Idan sluuurrrp seger deh.
Sebenarnya suka juga sama soto mie, saying ga bisa kasih rekomendasi soto mie yang enak ada dimana seputaran Pondok. Dulu waktu lagi hamil Idan, paling suka makan soto mie Pinangranti. Tapi sekarang mau makan di situ ga tega, secara debunya banyak banget. Soto depan UIA dan samping Tiptop Pondok Bambu katanya enak, tapi bukan seleraku. Jadi ga rekomen deh. Ada yang tau lagi tempat soto mie yang seger dan banyak risolnya?
Bubur Ayam
1. Bubur ayam kampung Ibu Ida Depan Ex Rama Plaza
Dulu sepertinya bubur ayam ini paling enak. Buburnya kental, gurih dan pakai ayam kampong dengan suwiran yang besar2. Kalau sakit, enaknya makan bubur ayam ini. Tapi sekarang sejak yang mengelola anaknya (yang kalau jualan suka pakai baju seksi…hihihi ga nyambung), kayaknya sedikit ada perubahan struktur dan rasa. Kira2 karena baju seksinya atau kenapa ya? Jadi suka kecewa kalau makan disitu, ga sesuai harapan. Mana mahal pula? Huhuhu…
2. Bubur ayam depan Holland Bakery
Bubur yang ini penggemarnya buaaanyaaak deh kalau Sabtu/Minggu pagi. Sampai yang jualan bingung sendiri. Dulu hampir tiap hari beli karena suka sama sate uritan dan sate kulitnya (kolesterol tuh), tapi entah kenapa sekarang kurang greget. Apa karena yang jualan sekarang si adik penjualnya ya? Kaldunya kasih agak banyakan ya, karena kalau menurut aku, buburnya sendiri kurang gurih rasanya.
3. Bubur ayam khas Kebumen samping TK Martha Gamprit
Nah kalau yang suka sama bubur ini adalah Idan. Buburnya ga usah dikasih kaldu sudah cukup enak dan gurih. Idan makan bubur ini polos aja, ga perlu tambah kecap dan kaldu, biasanya habis. Yang jualan juga bersih, ibu-ibu gitu. Tapi bingung juga, emang Kebumen punya bubur ayam khas ya? Tebakan kita sih karena yang jualan asli Kebumen. Wuih, satu kampung dong kita bu? ;D
4. Bubur ayam depan TK Assyafiiyah
Nah, berhubung sekarang lagi sering nunggu Idan sekolah, makanya bubur ayam ini lagi jadi favoritku. Kayaknya enaaaaak banget. Eh enak apa laper yak arena biasanya kalau ke sekolah Idan itu habis ritual nyuci dan beberes rumah dan belum makan pagi. Hehehe….
Pecel Lele, Pecel Ayam, Bebek dan Seafood
1. Ayam goreng Wonogiri (Gang Damai, Jatiwaringin, sebelum SPBU Bina Lindung)
Ini juga termasuk pedagang yang perjalanan hidupnya kusaksikan jadi lebih sukses. Hebat ya pedagang2 makanan itu. Dulu yang beli cuma satu dua orang di lokasi lamanya, depan ruko kosong di deket2 situ. Terus karena digusur, berkali-kali pindah lokasi sampai kita susah nyarinya, akhirnya ada di lokasi sekarang. Mungkin sudah rizkinya, di tempat yang baru ini, yang beli malah tambah banyak. Istimewanya lele dan ayam si mbak yang asli wonogiri ini adalah pada sambalnya. Sambalnya itu sambal terasi dadak. Jadi kalau ada yang datang baru dia buat sambel di cobeknya yang gede itu. Kasihan, pasti pegel-pegel tangannya kalau mau tidur ;D. Nah sambalnya itu mantap, pedasnya sih belum bikin gue nangis, tapi sudah memenuhi kriteria pedas. Kurangnya banyak….banyak debunya hehehe
2. Pecel ayam di parkiran ruko depan Pizza Hut (belokan Matahari)
Kalau yang ini, ayamnya yang enak. Sambalnya sih standar, tapi ayamnya spesial. Dicelup dulu sama tepung, jadi ada kremesnya gitu. Kriuk kriuk….kremesannya pun selalu ditambahin banyak oleh yang jual. Sebelnya, yang ngamen banyak bencongnya….
3. Nasi Bebek Samping Jembatan Item, Cipinang Melayu
Oke…oke…ini sih sudah melenceng sedikit dari seputar Pondok. Tapi ga apa lah kuposting, soalnya sekeluarga senang banget makan bebek ini. Bebeknya gaya Madura gitu yang dipotong kecil-kecil. Bumbunya royal, makan nasi sama bumbunya aja udah enak, apalagi ditambah sambalnya. Sambalnya rawit hijau gitu, berminyak dan amat sangat pedas. Asik kaaaan? Kalau beli 25ribu aja udah dapat banyak, sekitar 6-8 potong kecil-kecil. Lumayan kan buat diisap2 tulangannya. Aku ga tau Bebek Mak Isa seperti apa, mungkin kayak gini juga kali ya modelnya. Murah dibanding makan di Bebek Kaleyo atau Yogi.
4. Bebek Madura Halte Pasar Gardu
Bebek yang ini juga bebek Madura. Cukup enak, tapi sambalnya belum bisa menyaingi bebek Cipinang itu. Enaknya kalau jualan pagi, jadi kalau Sabtu mau berangkat praktik belum sarapan, biasanya sama si Ayah menclok kesini. Idan juga doyan banget sama bebek, jadi pasti dibawa pulang. Walaupun kalau makan, sambil huhah huhah.
5. Seafood 27 Jatiwaringin, samping Pesantren Putri Assyafiiyah
Mau makan seafood enak ga usah jauh-jauh ke Kelapa Gading apalagi Bandar Jakarta. Ke Seafood 27 aja di Jatiwaringin. Kerang rebus plus saosnya juara. Kerang saus padangnya juga 90% mirip sama punyanya Bandar Jakarta. Tapi aku ga suka sama cah kangkungnya, terlalu matang menurutku. Lebih enak kan kalau yang masih krenyes2 gitu. Harga standar lah, sayangnya dia curang ga kasih daftar harganya juga di menu. Jadi kalau kalap makan, siap2 aja ditagih banyak ;D
Bakmi Jowo
1. Bakmi Jowo Condronegaran
Ada di Pangkalan Jati, arah ke Duren Sawit. Persis di samping ruko Bank DKI. Kalau makan di sini serasa makan di Yogya, karena tukang masaknya mbah-mbah. Masaknya pakai arang batok, makanya bakminya enak. Ada beberapa pilihan menu, tapi yang jadi iconnya sih mie gorengnya. Enaaaak banget, buat obat kangen Bakmi Pakdhe di Ngesrep Semarang. Minumnya paling enak es gula asam. Si Ayah suka makan bacem tahunya sambil nyeplus cabe rawit.
2. Bakmi Jowo Gondrong
Letaknya di Sengon, Lubang Buaya, depan Satharlan. Kalau yang di sini rekomendasiku adalah mie rebusnya. Spesialnya pula si abang nambahin kekian disini. Sayangnya tempatnya panas dan sempit, terus ga disediakan cabe rawit, adanya malah saus. Lho, mana njowo-nya kalau pakai saus sambal?
Hehehe…..masih bersambung kok. Tapi lanjut aja nanti ya…Daku mau hunting dosen lagi
Minggu, 13 Maret 2011
Peta Makan Pondok Gede
Peta makan seputar Pondok Gede
Berhubung ga punya asisten yang kebagian tugas motong-motongin bahan masakan dan beberes2 peralatan dapur, maka urusan masak bukan lagi jadi prioritas. Mending beli dan catering deh, menurut aku lebih praktis dan lebih ngirit. Tapi tergantung juga di mana belinya kali ya? Kalau tiap hari makan mewah2an, bangkrut juga ah. Jadi butuh tempat jualan makanan yang murah, enak, bersih. Setelah bertahun-tahun tinggal di Pondok Gede, ada beberapa tempat yang menurut aku cukup layak dijadikan langganan dengan alasan di atas tadi. Moga-moga aja bisa jadi referensi temans yang juga punya hobi sama kayak aku, menggedekan badan, menipiskan dompet hehehe….
Biar gampang, aku kategorikan jadi beberapa item ya. Foto2 yang mendukung belum bisa dilampirkan sekarang deh. Kadang gragas, jadi sudah habis setengah atau semua, baru ingat belum difoto.
Lauk buat dibawa pulang :
1. RM Bundo Jaya
Letaknya di sebelah Bakso Tomat (yang ga kurekomendasikan), deretan depan Giant Pondok Gede. Walaupun si Uni yang jualan mukanya jutek banget dah, untung ga berimbas sama masakannya yang “Padang” banget. Wildan paling suka sama kembung bakarnya. Makanya kalau dia lagi ga nafsu makan atau sakit, dibawain kembung bakar plus daun singkong rebusnya si Uni Bundo Jaya ini. Wah, sepiring besar dan seekor ikan bisa habis sendiri sama Wildan. Warung awalnya ada di sebelum pertigaan Gamprit dari arah Jatiwaringin, tapi karena masakannya enak, kayaknya tambah maju terus pindah lokasi yang lebih luas.
2. Warteg Baraya
Posisinya yang persis ada di depan Tiptop Pondok Gede gampang banget dicari. Keliatan juga kok dari banyaknya motor2 yang parkir di depan warungnya. Gaya Sunda pisan. Penyelamat hari kalau bu Rini kumat malas masak. Sop dagingnya kesukaan si Ayah, sementara Wildan teteup dengan ikan dong. Dia suka dengan gulai tongkol asap dari Baraya, padahal pedas. Begitu Ibu coba buat sendiri, dia malah ga doyan. Huh mesti yang bikin pakai baju daleman nih hehehe (lha iya, masa masak sambil nude??)
3. RM Chinese di depan Naga Pangkalan Jati
Duh, lupa namanya. Pokoknya persis seberang Naga situ deh. Kalau ini sih kesukaannya Ibu. Ibu suka sama ayam kuluyuk dan ayam nankingnya. Porsinya generous dan bumbunya pas buat Ibu. Beda aja sama masakannya resto Chinese lain, misalnya Sasa depan RSCM. Berhubung Ayah ga doyan masakan Chinese, jadi Ibu yang selalu menghabiskan porsinya.
Sate, Gule, Tongseng
1. Sate Madura depan TK Martha Gamprit
Lagi-lagi namanya lupa. Padahal ditulis gede2 di warungnya hehehe..nanti deh diupdate. Sate ayamnya gede-gede potongannya dan dia ga selalu menyelipkan lemak di antara potongan dagingnya. Satu lagi, bakarnya pas banget sama yang Ibu mau, matang sempurna. Bumbu kacangnya juga enak banget. Wildan bisa makan nambah kalau pakai lauk sate ini. Buat acara2 keluarga juga Ibu sering pesan kok. Malah kadang dikasih bonus kalau pesannya banyak. Pernah dulu warungnya kebakaran, tapi seminggu sudah direnovasi dan sudah beroperasi lagi.
2. Sate Sumedang pengkolan Gamprit
Yang doyan sih si Ayah, katanya sate kambingnya enak, gulenya juga. Tapi kalau buat Ibu sih biasa aja, cenderung alot dagingnya. Tapi sop dan gulenya memang enak, bumbunya terasa rempahnya.
3. Sate Solo depan Lakesgilut
Nah kalau yang ini mantap tongsengnya. Bumbunya njawani banget, cocok sama lidah jawa daku. Sate kambingnya lebih enak dan empuk dibanding yang nomor dua. Sayang jauh dan yang jualan sombong. Hehehe, hebat ya tukang sate aja bisa sombong.
Pecel Madiun Pertamina
Kalau pecel sih cuma satu-satunya deh, ga ada kompetitornya. Sekali lagi namanya lupa. Letaknya ke arah Puskesmas Jatiwaringin, setelah SD. Kalau pagi hari libur, masya Allah, yang ngantri beli saingan sama antri Raskin. Pecelnya gaya Madiun (aku masih belum ngerti yang bedain dimana ya? Kayaknya semua pecel sama) sayurannya lengkap. Ada kenikir dan kembang turi yang ditempat lain ga ada. Waktu Wildan ultah, Ibu juga pesan pecel di sini. Murah meriah sehat kenyang enak. Kalau makan di sini, sering ketemu Pak Yusuf yang kepala lembaga anti pencucian uang itu (apa ya nama resminya?). Si Wildan juga doyan banget makan sayurannya plus sambal kacangnya sampai Pak Yusuf itu terheran-heran. Dulu si Mbak pecel ini Cuma jualan pecel aja, tapi kayaknya sekarang diversifikasi pangan, ada rawon dan soto juga. Jualan jajan pasar pula. Rumahnya di belakang warungnya, petakan gitu, tapi kayaknya di kampungnya dia udah jadi orang kaya. Amin ya mbak.
Bakso dan Mie Ayam
1. Mie ayam Puskesmas
Dulu cuma buka sebelah Pusk Jatiwaringin, tetapi sekarang gerobaknya di mana2. Sukses tuh si abang mi ayam. Ada satu yang depan Alfa Gamprit dan satu lagi yang aku tahu kalau pagi mangkal di TK Almuhajirin Taspen. Sebenarnya sih rasanya standar menurut daku, tapi si abang, terutama yang di TK, bisa mengakomodir kekenyalan mienya seperti yang aku mau. Al dente kata Valentino Rossi. Si Ayah kalau lagi menderita ga ada sarapan, larinya ya kesini, sampai akrab sama abangnya (*minta diskon aturan Yah*).
2. Mie Ayam Kutoarjo Bang Adi
Letaknya di samping GOR Halim, JL Raya Pondok Gede, depan bengkel2. Dulu dia justru jualan di bengkel itu, tapi karena yang beli buaaanyaaak, dia punya banyak uang terus bisa buat tempat sendiri yang permanen di depan lokasi jualannya yang lama. Uniknya di sini ada menu mie ayam ketupat tahu. Ibu sih belum pernah nyoba, habis porsinya gede banget dan kayaknya aneh, tapi katanya enak dan unik. Trus mie ini udah buka dari jam 4 pagi, hehehe, ada aja yang beli tapinya. Walah kalau beli, mesti antri tempat duduk saking penuhnya.
3. Bakso Tebet
Kayaknya aku belum pernah nemuin bakso seenak bakso ini deh. Lokasinya di lantai dasar Plaza Pondok Gede yang lama, dekat toko2 emas. Dari jaman SMA dulu, sudah beberapa kali pindah tempat, tapi rasanya konsisten. Untuk ukuran kios bakso setara, harganya lebih mahal dan makin naik tiap tahunnya. Terakhir saya makan sudah IDR 11rb untuk 3 buah bakso. Tapi baksonya enak banget, daging semua, ga ada rasa2 acinya. Trus sambelnya dari rawit ijo yang super pedes. Hehehe sampai ngeces nih.. Kurangnya tempat ini adalah kotor dan banyak lalat. Mungkin disitu bumbunya kali ya? Sudah lama ga makan bakso ini karena tempatnua makin kotor dan baksonya mbak Eka PTK juga enak, jadi sering bawa pulang dan bikin sendiri.
Masih banyak nih….sambung aja lagi kapan-kapan ya. Masih ada soto Kudus, soto mie, jajanan, bebek, pecel lele, ayam goreng, bubur ayam, ketupat tahu, gorengan, kue basah, roti,dll. Tapi aku udah ngantuk dan berniat melanjutkan bikin powerpoin tesis.