Cinta

Cinta
Demi Wildan

Bebek

Bebek
Jepret-jepret karya WIildan

Rabu, 27 November 2013

Siapa bilang dokter kaya?

Hari ini, Rabu Kelabu. 27 November 2013 secara serentak asosiasi dan organisasi profesi kedokteran Indonesia bergerak melakukan aksi solidaritas keprihatinan terhadap kasus sejawat Dr Ayu SpOG dan rekan di Manado. Hari ini semua pelayanan rawat jalan terhenti di sebagian besar RS. Sebuah keputusan yang diambil dengan hati2. Bukan keputusan menuruti emosi. Keputusan yang masih diiringi tanggung jawab terhadap profesi dengan tidak membiarkan pelayanan rawat inap, kebidanan, darurat, kritis dan operatif terganggu.

Sebenarnya ini adalah puncak gunung es akumulasi bertahun2 lamanya terhadap kesenjangan komunikasi antara dokter dan pasien. Antara profesi kedokteran dan masyarakat awam. Hasil feodalisme yang ditanam oleh pihak penjajah terhadap masyarakat Indonesia. Yang memungkinkan saat itu dokter menjadi kaum terkemuka karena saking jarangnya dokter pribumi sehingga masyarakat berkesan mendewakan Tuhan ditambah tidak ada keberanian bertanya dari masyarakat awam karena pola pikir saat itu yang masih sederhana. Otomatis karena ketidakseimbangan jumlah provider dan konsumer, maka jumlah waktu konsultasi menipis karena pasien terlalu banyak.  Wajarlah dokter saat itu praktis menuai banyak imbalan secara ekonomi dari hasil kerjanya. Dan mereka menjadi orang berkecukupan, beberapa malah sangat kaya.

Waktu saya kecil, saya sering ke dokter. Saya suka mencium bau antiseptik di ruangannya yang putih bersih, melihat wajahnya yang kebapakan dengan jas putih, melihat lihat seputaran rumahnya yang cukup mewah untuk ukuran saat itu. Pokoknya dokter tsb idola saya sekali deh (sampai sekarang dokter ini masih ada, berprakteik dekat dengan tempat saya praktik, tetapi setelah saya jadi dokter sendiri, menurut saya dokter ini bukanlah tipe ideal saya tentang seorang dokter....sadly). Terbetik di pikiran saya kecil bahwa saya harus jadi dokter nanti. Kenapa? Jadi dokter itu menyenangkan, menyembuhkan anak2, mendapat uang, punya rumah bagus, punya mobil bagus dan banyak, punya kolam ikan isi koi .... Sooo my little me wanted to be a doctor. I was so determined to be a doctor. Jadi saya belajar....belajar melulu sepanjang masa sekolah dasar dan menengah saya (sampai lupa pacaran), supaya saya masuk sekolah kedokteran negeri. Bapak ibu saya manalah sanggup menyekolahkan saya di FK swasta, boro2 di FK swasta, di universitas swasta juga Bapak bilang tidak sanggup bayar. Jadi saat itu pilihan saya masuk FK negeri atau jadi SPG di Matahari Department Store.

Singkat cerita, saya berhasil masuk FK Undip via jalur UMPTN (jaket kuning gagal dimiliki saat itu), murah meriah biaya masuk dan sekolahnya, masuk cuma 2,5 juta, per semester hanya 180rb+30rb. Murah toh? Tapi sebenarnya setelah dihitung2 sama juga akumulasinya dengan biaya sekolah dokter swasta karena saya terpaksa sekolah di luar kota yang butuh biaya hidup cukup besar. Senangnya jadi dokter, terbayang saya akan menjadi seperti dokter di lingkungan saya itu. Selesai sekolah nanti, saya bisa praktik sendiri, punya pasien banyaaaaaak kayak beliau, punya rumah dan mobil bagus.

Benarkah???

Waktu saya orientasi awal bersama ortu dan pihak fakultas, seorang guru saya memberi wejangan yang rupanya sangat diingat oleh Bapak. Kira2 begini : Bapak Ibu, jangan bangga anaknya bisa masuk FK sekarang. Kenapa? Karena menjadi dokter sekarang kemungkinan menjadi kaya raya sangat sedikit, kecuali memang Bapak Ibu sudah membekali warisan yang cukup buat anak2 Bapak Ibu sekalian. Atau Bapak Ibu sudah menyiapkan RS buat putra putrinya. Tapi jangan khawatir, anak Bapak Ibu juga tidak akan menjadi orang yang susah2 amat. Kalau sekadar rumah atau sepeda motor pasti terbeli. Kalau sekadar makan sehari2 pasti terpenuhi.

Deggggg!!! Hati kecil saya mulai waswas. Wah bayangan punya mobil sendiri main menjauh perlahan. Ya sudah, kadung kecemplung toh? Saya tetap ambil kedokteran walau saat itu diterima juga di STAN (temennya Gayus seangkatan :p). Singkat cerita lagi, di akhir masa pendidikan dokter umum saya yang berat , saya sempat bertemu dengan kecengan teman SMA saya saat dia berdinas ke Semarang. Waduh hebat posisinya sudah di asisten manajer (entah apakah memang benar posisi itu hebat?), sementara saya masih seorang koass yang masih minta uang sama Bapak buat bayar kos. Padahal waktu SMA, peringkat saya di atas dia. Hiks, minder mendera. Tapi sudahlah di ujung jalan sebentar lagi sampai ga ada waktu menyesal.

Tahun 2001 saya selesai, diwisuda, jreng jreng akhirnya punya gelar di depan nama. Kereeeeen, sementara sarjana yang lain gelarnya di belakang. Yuhhhuuu I am a doctor. Tapi setelah lulus saya kemana? Bingung....
Akhirnya saya kembali ke Jakarta dengan gelar tetapi menganggur. Yup menganggur saudara saudari.... Saya pikir jadi dokter ngga bakalan menganggur, langsung ditawarin kerja sana sini. Ternyata susah cari kerja. Saya coba lamar dibeberapa RS, saya tidak diterima karena fresh graduate. Akhirnya saya terima job jaga klinik 24 jam. Di mana2 tuh saya pernah muterin Jakarta sampai Bekasi Bogor. Ada yang tarifnya cukup menyenangkan dapat 300rb/hari ada yang akhirnya saya cuma dapat uang duduk saja 50rb/hari. Itu 24 jam ya pemirsa. Loh menyedihkan ya? Sebulan pendapatan saya cuma berkisar 1,5 sampai 2 juta. Tapi Bapak saya membesarkan hati saya, ngga apa2 Nduk, pegawai biasa dikantor ngga dapat segitu kalau baru mulai. (pegawai biasa ngga kerja 24 jam, pak...pengen bilang gitu tapi takut bapak kecewa). Beliau masih euforia punya anak bergelar dokter. Yah masih bisa nabung barang 500rb lah per bulan. Sisanya buat naik kendaraan umum (loh saya ga punya mobil), beli bedak, pulsa, lipstik, baju, beli makan, beli pembalut dll.

Akhirnya saya ikut program PTT di Kabupaten pemekaran, Lampung Timur. Tiga tahun saya dinas di daerah yang kalau di Pulau Jawa dihitung terpencil, namun di Sumatera dianggap tidak. Di daerah yang keras ini (sarang pencuri dan pembegalan), saya bertahan 3 tahun sementara banyak sejawat lain tidak. Bukan karena saya betah, tapi karena saya malas mengurus pindah2. Adakah rumah dinas? Tidak ada. Lalu tinggal dimana? Kontrak dari penduduk 2,5 juta per tahun. Yang bayar rumahnya siapa? Bayar sendiri. Emang gajinya berapa? 900rb per bulan potong ASKES 25 rb. Rumahnya di kecamatan lain yang lebih aman, jaraknya 15 km. Ke  puskesmas naik apa? Akhirnya saya terpaksa menggunakan mobil dinas puskesmas buat pulang pergi (hiks penggunaan fasilitas negara). Bensinnya? Bayar sendiri 25rb per hari isi 10 liter. Uangnya? Ga ada! Makanya saya praktik pribadi di rumah kontrakan, lumayan lah hasilnya. Bisa nabung? Ngga bisa nabung banyak juga sih. wong saya kasih harga periksa dan obat itu 20ribu untuk pasien anak dan pasien dewasa 25rb. Pakai obat2 me too drug yang murah. Kalau obatnya ngga banyak, ya saya bisa simpan buat jasa medis saya 10rb. Kalau obatnya banyak karena sakitnya lumayan serius, ya saya tekor.

Puas disana walau pasiennya banyak? Ngga lah. Saya berasa bodoh menjadi dokter di pelosok, tidak ada yang mengkontrol tindakan saya, apakah itu benar atau tidak. Saya harus jadi pintar. Lupakan motivasi jadi dokter menjadi kaya. Gambaran pak dokter idola saya yang bersih kinclong plus mobil mewahnya hilang sudah. Saya mau jadi pintar, ngga mau jadi dokter bodoh yang bisa membahayakan nyawa pasien. Harus sekolah spesialis.

Singkatnya, sekolah lah saya di tempat yang selalu saya pandangi dengan mata berbinar bila melewatinya. Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Takut juga sih karena tabungan ngga banyak, baru punya anak pula. Tapi riski anak saya ternyata. Saya masuk dari jalur reguler, tanpa rekomendasi siapapun hanya kepala dinas saya. Horeeee....dapat sekolah murah, cuma bayar 5 juta waktu masuk dan 3,1 jt per semester. Tapi kesenangan hanya semata karena saya masih harus beli buku2, fotokopi, atau membiayai pemeriksaan/obat pasien kurang mampu. Bukan karena paksaan, namun sekadar kasian. Lumayan keluarnya, pernah waktu jaga saya dan kakak kelas saya keluar dana 500rb. jumlah yang banyak bagi dokter yang tidak berpenghasilan seperti kami. Lalu uang sekolah dari mana?

Kali ini suami saya jadi penyandang dana. Berusaha ga meminta sama Bapak lagi sekarang. Gajinya juga ga banyak. Jangan tanya deh gimana kehidupan kami waktu saya masih residen. Mengingatnya aja bikin saya nangis. Kontrak di rumah petakan per bulan 700rb (sementara teman tinggal di kos2an bernilai 2jt/bulan) , baju lungsuran dari tante, beli susu anak yang paling murah di pasaran, sepatu kadang sampai dijahit berulang. Lebay? Ngga! Ini saya cerita apa adanya. Kadang saya terpaksa menahan lapar dan sering berpuasa Senin Kamis semata karena saat itu uang di kantong saya hanya 5rb rupiah cukup untuk naik angkot dari salemba ke pondok gede. Yah saya ngangkot,kadang saking lelahnya dan tertidur di angkot sampai kebablasan kelewatan turun. Lumayan bisa bobo sejenak. Bagaimana saya survive melewati masa2 residen saya saja masih membuat saya heran. Alhamdulillah, Allah SWT selalu cukupkan rizki saya. Ngga banyak memang, tapi kami ga sampai kelaparan. Dan motivasi saya bukan lagi jadi kaya....bukan lagi jadi pintar...tapi cepat lulus hehehe. Versi serius: Ya Allah betapa banyak anak tidak beruntung yang sakit, tidak sesehat anak saya, maka pinjamkanlah tanganMu agar saya dapat menolong mereka. TITIK

2011 saya bergelar Dokter Spesialis Anak sampai sekarang. Lalu apakah saya menjadi kaya sekarang karena sudah jadi spesialis? Pak dokter idola saya masih dokter umum, saya sudah DSA, keren kan? *winkwink. Oh salah besar.... Setelah saya selesai, pekerjaan memang datang sendiri, tapi memilih yang sreg di hati itu sulit. Berulangkali pindah rs karena berbagai alasan akhirnya saya cukup puas pada kondisi saya sekarang. 1 tahun pertama jadi DSA kami masih tinggal di rumah petakan tsb, sepertinya tidak ada tetangga kami yang penjahit, pemilik toko di pasar, wanita simpanan anggota DPR, yang tahu pekerjaan saya. Mungkin kaget ya kalau tahu ada DSA tinggal disitu :p. Sampai akhirnya saya bisa menabung cukup untuk DP sebuah rumah cukup layak huni. Sengaja saya tidak melamar di rs yang jauh2 dari rumah saya karena pertimbangan saya tidak punya kendaraan pribadi. Hanya ada motor suami saya dan sebuah sepeda mini yang sering saya gunakan buat bekerja (bike to work ceritanya). Rizki saya alhamdulillah cukup seperti yang digambarkan dekan saya di FK Undip. Berlebih ? Tidak, hanya cukup untuk kami hidup layak, makan sehari 3x, sesekali cukup untuk liburan di pulau Jawa, tidak keluar negeri, dan cukup untuk menyekolahkan anak. Saya pun masih pengguna angkot yang setia (sampai akrab sama pengamennya). Dan untuk itu semua hanya syukur yang bisa saya panjatkan.

Gambaran pak dokter ganteng yang klimis di ruang serba putih berbau karbol, dengan halaman rumahnya yang luas, dan garasi parkirnya hilang dari benak saya. Saya cukup bahagia menjadi diri saya, dokter yang tidak menggunakan sneli, hanya berbatik sederhana, dikelilingi pasien2 kecil, menyaksikan mereka tumbuh dan membagikan stiker pada mereka bila tidak menangis saat diperiksa. Hanya ada satu pertanyaan adakah di antara mereka yang ingin menjadi seperti saya?

Wallahualam bi showab

Jumat, 15 Maret 2013

Bukan kriminal kok

Saya kok sedih ya memantau berita-berita yang ada sekarang terkait profesi dokter. Ada kesan mengkriminalkan dokter oleh pihak-pihak tertentu. Maksudnya apa entah saya tidak tahu. Apalagi teman-teman sejawat saya yang ada di rsud jadi sasaran empuk. Entah bagaimana stressnya saya apabila masih ada di rsud. Saya bisa membayangkan betapa menumpuknya beban yang ada dihadapi sehari-hari.

Sewaktu saya di rsud, seorang spesialis bisa memegang 3-4 ruangan kelas 3. Satu ruangan diisi oleh 6 bed. Jadi kurang lebih 18-24 pasien rawat dengan berbagai masalah. Kalau kasusnya sederhana macam diare atau dbd tanpa komplikasi sih masih enak ngga perlu mikir terlalu berat. Tapi namanya rsud kadang pasien masuk sudah dalam keadaan bonyok limpahan dari tempat pelayanan kesehatan lain dengan berbagai alasan. Kalau dari puskesmas biasanya dengan alasan perlu fasilitas lebih baik. Kalau dari rs swasta dengan alasan kehabisan biaya. Pasien-pasien seperti ini yang membuat kepala bisa pening, makan ga enak dan tidur terganggu. Apalagi kalau biaya menjadi isu utama.

Sebenarnya sangat enak merawat pasien kelas 3 yang menggunakan jaminan kesehatan dari pemerintah, apalagi dari jaminan pemda DKI. Obat dan fasilitas yang dicover cukup banyak. Senang dong dokternya ngga usah mikir bagaimana mengobati pasiennya. Mau ct scan, tinggal buat surat pengantar khusus ke bagian jamkesmas disertakan alasan permintaan dan kepentingannya. Kami bilangnya surat cinta. Mau dapat albumin yang harganya 1juta sebotol juga tinggal buat surat cinta. Asal alasannya jelas pasti dapat kok. Yang susah kan kalau pasiennya masuk RS, belum punya jaminan apa-apa sementara masuk dalam golongan tidak mampu. Mau beli obat, mau periksa ini itu, ngga punya uang. Yah kan jadi sudah yang mengobati juga. Diminta buat surat tidak mampu, KTP dari luar Jakarta. Ya ngga bakal dikasih dong SKTM/jamkesmas dari pemda DKI, lah bukan warganya kok. Kan pemda juga maunya prioritas warganya dulu dong yang dibantu. 

Kalau kasus begini tinggal dokter dan perawatnya yang puyeng. Mesti putar otak bagaimana caranya itu pasien sembuh walaupun ngga punya uang. Trik saya dan rekan-rekan perawat biasanya pakai obat-obatan pasien yang sudah pulang. Jadi kalau pasien jamkesmas pulang dan masih ada sisa obat, biasanya disimpan perawat. Karena mekanisme retur obat untuk jamkesmas juga ribet. Jadi kalau ada sisa 1 ya disimpan saja. Bukan..bukan buat dijual lagi (jangan negatif dulu,ya), tetapi untuk cadangan kalau-kalau ada pasien tidak mampu masuk tanpa jaminan. Tentu saja kalau pasien masuk dengan biaya sendiri, obat-obat sisa dikembalikan supaya uangnya kembali. Pintar ya perawat-perawat itu? Sering kali ada pasien masuk dirawat tanpa jaminan dan tidak mampu, sejak mulai opname sampai keluar rawat tidak pernah menebuskan resepnya. Obat dan cairan diberi dari stok yang tersisa. Pasien dan keluarganya kadang ngga ngerti kan yang seperti ini, yang penting diinfus dikasih obat kadang ga peduli darimana obatnya. Kalau sial stok obat habis, yaaaah bagaimana lagi? Tentu saja pasiennya tadi ngga bakal dapat obat apa-apa. Lah diberi resep ngga ditebus, terus darimana obatnya dapat? Kembali lagi pasien ngga tahu apa-apa, merasa tidak diobati dengan baik. Dirawat tapi kok ngga diberi obat, begitu laporannya keluar. Looooh, resepnya ngga ditebus sih. Kalau obatnya masih murah terbeli, biasanya dokternya masih bisa belikan. Saya acapkali belikan obat buat pasien, apalagi bila obat tersebut dibutuhkan untuk resusitasi. Dan koass saya akan berlari sekencang-kencangnya ke apotik tidak menggunakan lift tapi lewat tangga karena menunggu lift akan sangat makan waktu. Apakah yang seperti ini dibilang tidak peduli?

Bukan pembelaan pribadi, namun terkadang bila memang diperlukan dana dalam jumlah besar sementara pasiennya tidak punya jaminan apa-apa, saya (dan banyak dokter lain melakukannya) akan mencarikan donatur. Biasanya saya "mengemis" ke teman-teman sejawat di grup BBM, atau lari ke yayasan tertentu yang cukup murah hati. Misalnya Ursa Mayor Charity, punyanya alumni Santa Ursula, atau ke Yayasan Buddha Tzuchi atau ke Dompet Dhuafa. Bahkan kalau perlu pendampingan, saya panggil LSM yang bergerak di bidang itu. Dan semua sejawat saya di rsud tersebut semua melakukannya. Jadi ini yang namanya tidak peduli? Hhhm lalu seperti apa ya definisi peduli.

Kalau kesannya pelayanan di kelas III memble, yok kita lihat lagi sama-sama. Saya sudah sebut diatas tingginya beban tenaga medis di kelas III rsud. Satu dokter (satu kepala) menangani 18-24 pasien. Karena banyaknya kadang terlupa apa saja yang sudah dikerjakan untuk pasiennya. Dokternya gagal fokus karena beban yang tinggi. Perawatnya untuk 24 pasien tersebut biasanya hanya 4-5 di pagi hari, namun pada jam luar kerja hanya 2-3. Kebayang dong lelahnya kayak apa, mondar mandir sana-sini. Makan dan bahkan duduk saja mereka sulit kok. Masih dikritik perawatnya judes. Yaaaah siapa sih yang ga judes kalau dari pagi belum makan dan minum? Sering ada kata-kata seperti ini, kalau diluar negeri perawatnya mau nyebokin, mau nyuapin ,mau mandiin, jadi keluarga yang nunggu ngga mengerjakan apa2. Disini , perawatnya mana mau mandiin/nyuapin? Di luar negeri kan rasio perawat pasiennya cukup rendah, 1:3. Lah disini? 1:6. Wajar dong kalau perawat mengandalkan peran penunggu pasien untuk mengerjakan hal-hal diluar tindakan medis yang bisa dilakukan keluarga. Yang jelas kan kalau pasang infus, menyuntik obat, pasang selang ini itu ngga didelegasikan ke keluarga. 

Dan karena pelayanan utama di kelas III rsud adalah pasien tidak mampu yang menggunakan jaminan pemerintah, tentu harus ada pencatatan yang jelas dari pihak rs agar mereka bisa mengklaim biaya perawatan yang dibebankan ke pemerintah. Terkait hal ini, tentu ada birokrasi yang berlaku. Ada verifikasi, ada kertas-kertas yang harus diisi, ada tanda tangan dari pihak yang berwenang. Supaya klaim bisa dicairkan. Kalau ngga cair, waduh tentu saja supply obat terhenti karena farmasi tidak mau mengirim obat lagi ke rs. Dokternya juga bisa-bisa ngga dibayar, kasian kan padahal sudah lelah tenaga dan pikiran. FYI, jasa poli spesialis di rsud jaman saya itu rp 10.000 per pasien. Jasa visit rawat inap Rp 25000 perpasien. Jasa SC Rp 75000. Dan gaji saya selaku tenaga honorer yang bukan pns sebulan cuma Rp 500rb. Murah ya? Padahal asisten RT saya aja gajinya Rp.1jt. Buati ongkos bensin aja uangnya ga cukup. Jadi mengandalkan jasa medis dari pasein. Lah kalau ngga dibayar? Kasian anak saya kan ngga bisa sekolah.

Pasien di poli itu bisa 70-80 orang kalau di hari saya. Terbayang berapa yang bisa saya dapat andai itu pasien saya pindah ke praktek swasta saya? Bagaimana mau edukasi panjang lebar dengan penyakitnya kalau saya sudah stres melihat antrian diluar mengular dan mereka semua pasang tampang marah karena menunggu lama? Akhirnya jujur saya tidak bisa bicara banyak. Karena tidak bisa bicara banyak, konsultasi tidak berlangsung, pasiennya menganggap dokternya judes. Wah kalau saya sebawel di praktek swasta saya yang sekali konsultasi habis minimal 5 menit kalau sakit-sakit ringan saja, kalau berlaku di rsud kapan ya selesainya? 400 menit minimal. Kalau praktek pribadi kan memang jumlah pasien saya hanya sekitar 10-15, jadi masih bisa berlaku edukasi dan konseling. Kalau di rsud, kasian pasien yang paling belakang, kapan pulangnya? Karena setelah antre di poli, mereka mesti antre di apotik. Kasian kan? :(  Masa mesti kemping buat tebus obat. Kadang saking antrenya, obatnya baru bisa diambil esok harinya lho. Kasian lagi kan? 

Berhubung saya mau kerja, curcolnya nyambung sore ya? Semoga jadi gambaran bahwa dokter indonesia bukan kriminal. 


Rabu, 27 Februari 2013

TANGAN-TANGAN ISENG

Tanganku ini memang iseng ga bisa diam. Kalau diam, kayaknya bakal kesemutan. Ditambah riwayat insomnia sedang (efek jadi residen 5 tahun), maka tangan isengku punya penyaluran. Ada macam-macam yang sudah pernah jadi sasaran tanganku ini. Mulai dari buat kalung dan gelang, bros, pinata, kue-kue, dan masakan,  hamper buat bayi dan terakhir boneka. Blog ini juga bagian dari keisenganku :p. Sayangnya, isengnya tanganku tidak untuk membuka lembaran-lembaran textbook dan jurnal. Hadeeeeuh kalau urusan yang itu justru jadi obat insomnia alias ngantuk berat fufufu.

Hasil keisengan diriku bisa dilihat di bawah sini. Kalau orang-orang nanya, kok sempat sih? Ya sempat saja, wong saya ini kalau pagi full housewife. Mulai jam 14-21 aja saya ganti profesi jadi SpA. Enak akan hidup saya? Nikmati dan syukuri, motto sederhana yang sedang saya coba jalani.

Kalung dan gelang.
Waktu buat ini sih jujur aja murni nyari uang saku. Masih residen waktu itu, ngga punya dana buat penelitian. Coba deh iseng jualan barang handmade. Capek sih, begadang malam-malam, sambil ngerjain ini itu pe-er residen anak yang segambreng, disambi bikin ginian. Yang ada kalau lapjag sering bobo manis (maaf ya mami Dr Partini *tutupmuka*). Menodong teman sendiri untuk membeli kalung yang murmer dan ga dijual ditoko manapun. Unik cuma satu-satunya, soalnya yang bikin kalau disuruh remake model yang sama pasti ga bisa karena ga mood lagi (sama kan kayak ulang modul, kalau disuruh ngulang rasanya ga mood ;p). Lumayan laris dagangannya, sempat ngumpulin ada sekitar 1,5 juta deh. Sedikit dibanding hasil jadi SpA (eh tapi masih tetap banyak ding buat saya...*bersyukur..bersyukur*). Beberapa contoh karya saya bisa dilihat di gambar (please jangan samakan dengan Elizabeth Wahyu ya?).




Diaper Cake

Masih bingung kan, diaper cake itu apa? Sebenarnya hamper/parsel/paket kado buat newborn tapi dibentuk dari pospak disusun menyerupai cake ultah. Isinya bisa macam-macam, jumper, kaos kaki, boneka, topi dan segala macam perlengkapan bayi yang diharapkan bisa terpakai oleh si baby kelak. Jadi isinya barang-barang yang useful buat bayi. Di sono (maksudnya di Amrik,Eropa dan Aussie), diaper cake ini bukan barang ajaib, karena mereka sering buat ini untuk acara baby shower (kayak nujuhbulanin deh kalau di sini mah). Diaper cake-nya jadi hiasan utama.
Disini belum populer. Makanya unik banget kalau mau kasih kado begini. Waktu awal bikin buat si Boyti-nya @amandasoebadi . Bikinnya googling dan belajar tutorialnya dari Youtube. Eh kagum juga waktu hasilnya jadi. Unyuuuuu bener sih (memuji diri sendiri). Diaper cake kedua dan ketiga buat Nayo, anaknya Marina Tamara @doc_tam. Digotong-gotong ke Hermina Jatinegara dan semua orang terkagum-kagum (menurut aku sihhh yang kege-eran) terus bertanya beli dimana? Dengan bangga dijawab buat sendiri :D.
Yang belum tau diaper cake kayak gini nih. 

Pinata

Apa lagi tuh? Itu loooh hiasan digantung yang diisi berbagai macam permen/coklat nanti dipukul-pukul sampai remuk dan keluar isinya. Dari tradisi orang Mexico terkait festival tertentu (lupaaaa) terus diadapatasi sama bule-bule Amrik sebagai bagian dari acara pesta ultah anak-anak. Gara-gara dendam beli pinata bentuk McQueen di Asemka (IDR 250rb cuma buat dipukul-pukul) akhirnya terinspirasi buat sendiri, kebetulan Daulika minta dibuatkan untuk ultahnya Abram. Jadi hayooo challenge excepted. Belum rapi bentuknya, tapi fungsinya bagus kok, gampang dipukul dan isinya juga aman karena terbuat dari tepung beras dan kertas koran. Ngirit kaaan? Seruuu kaaan?

Kue dan masakan

Ini sih ngga perlu iseng, memang wajib bisa secara aku ini main job-nya ibu RT gitu looooh. Walaupun memang kalau untuk kue sih ga perlu buat, beli jadi gampang. Tapi buat kue sendiri ada kepuasan batin, walaupun bantet, gosong, dan makannya (ternyata) lebih cepat daripada buatnya ;p. Ini beberapa masterpiece diriku. Please jangan dibandingin sama peserta masterchef ya? Buat aku yang ga pernah main ke dapur, bisa masak begini saja sudah keren looh



Terakhir lagi pengen belajar adalah bikin plushie/boneka binatang. Uuuuh lucu-lucu deh yang ada diblog-blog craft itu. Kok bisa yaaa? Aku juga mau belajar ah. Sementara sih jadinya baru begini nih. Tapi sudah lumayan berbentuk kok. Padahal ini dijahit pakai tangan, soalnya si Janome keren itu belum kebeli.



Iseng? Hhhmm mungkin iya benar. Tapi menyibukkan tangan adalah sebuah terapi khusus buat aku belajar sabar, teliti, detail. Modal yang sangat dibutuhkan seorang dokter anak dalam bekerja. Mungkin suatu saat bisa buka bisnis sendiri yang melibatkan banyak orang sehingga bisa buka lapangan kerja baru. 

Doakan ya?

Aamiin YRA

Kamis, 31 Januari 2013

Kalau Wildan sakit

Minggu akhir Januari ini benar-benar waktu sendu buat Ibu. Kamu tiba-tiba saja sakit, diawali dengan demam dilanjut diare berakhir dengan muntah-muntah hebat. Karena sudah tahu adatnya kalau sakit, yaitu malas minum, akhirnya diputuskan kamu dirawat saja. Hasil labnya mencengangkan karena dalam waktu sehari saja hitung jenisnya sudah segmenter 90. Deeegg, rasanya jantung mencelos, kok saya bisa kecolongan? Baru ingat, waktu ibu antar bantuan banjir, kamu ikut nyemplung ke lumpur kotor itu. Duuuh, maafkan ibu ya nak, maksud ibu ajak kamu itu biar rasa peduli kamu terasah. Bukan malah jatuh sakit.

Ya sudahlah, masuk antibiotik. Ibu pikir sehari saja saja sudah cukup, toh kamu kalau pakai infus sebentar saja langsung segar. Yup ini pengalamanmu ketiga dirawat (empat pasang infus dengan sirkumsisi lalu). Sedih rasanya tanganmu ditusuk-tusuk, mana sempat gagal pula. Pasti sakit ya, sayangku :(.

Setelah satu hari, tampaknya kamu sudah cukup layak pulang, walau makan masih sedikit, tapi kamu sudah ceria dan banyak bicara lagi. Jadilah kamu pulang. Tapi tampaknya ibu salah karena kamu belum mau makan dan dua hari setelahnya kamu muntah dan diare lagi walaupun tidak demam. Karena ayah tampak tidak nyaman dengan kondisimu, terpaksa kembali dirawat. Ibu nyaris tidak percaya diri merawat kamu, namun kalau dirawat dokter lain, ibu lebih tidak percaya.

Alhamdulillah, kali ini kamu tampak lebih baik. Makanmu banyak sampai tambah dan kamu sudah bisa bilang lapar. Artinya kamu memang membaik. Tapi ibu tetapkan antibiotikmu diberikan 3 hari dulu deh, biar tuntas. Lab juga perbaikan. Setelahnya kita bisa pulang.

Sehat terus ya sayang, janji itu rawat terakhirmu. Jangan sakit lagi ya anakku, hati ibu patah bila kamu sakit. Biar ibu dokter anak, namun tetap saja hati ibu mencelos dan meneteskan air mata setiap tusukan jarum menembus kulit lembutmu. Ah anakku yang baik, yang tidak menangis setiap ditusuk jarum, tapi ibu tahu kamu menahannya agar tidak melihat tetesan air mata ibu mengalir. Kamu memang anak baik.

Maafkan ibu ya, tidak selalu bisa menjadi ibu yang baik buatmu. Bahkan menjadi dokter yang baik untukmu saja ibu belum sanggup. Maka berjanjilah ya nak, sehat terus dirimu. Karena setiap sakitmu adalah duka bagi ayah ibu.

Selalu suka My Bestfriend's Wedding

Baru saja selesai nonton My Bestfriend's wedding untuk yang entah keberapa kalinya. Sayangnya, saya tidak pernah bosan menontonnya berulang-ulang. Dan masih saja selalu menangis setiap menonton film komedi romantis berbintang si cantik Julia Roberts. Entah mengapa, Julia di film ini paling adorable karena terlihat lugu dan awesomelly pethatic. 

Agak konyol juga sih, nonton film komedi romantis kok menangis? Berulang-ulang pula. Yaaaah karena waktu pertama nonton film ini di tahun 1997-98an, saya masih masih ABG galau. Apalagi ditambah ngga punya pacar, dicuekin kecengan, sedang sakit kronis, dll dsb sejuta masalah ABG galau yang sekarang kelihatannya remeh temeh tapi saat itu memang penting buat saya (catat yaaa..biar maklum ;p). Kalau yang belum pernah nonton, sinopsisnya dibawah ini.

Julianne yang akrab dipanggil Jules, 27 tahun, adalah seorang perempuan karir, kritikus makanan yang sukses di New York. Suatu hari, Jules mendapat kabar dari sahabat lamanya, Mike (Dermott Mulroney) yang memberitahu bahwa dalam waktu seminggu mendatang, dia akan menikah dan minta Jules jadi "Maid of Honour". Jules dan Mike sudah kenal sejak jaman mereka di College. Mike pernah nembak Jules tapi Jules menolak, akhirnya mereka jadi sahabat bertahun-tahun lamanya, jadi tempat curhat satu sama lain. Sempat buat janji, kalau sampai umur 30 tahun mereka belum menikah dengan seseorang, mereka akan menikah satu sama lain. Mike dan Jules beda domisili, si Mike ini kalau ngga salah tinggal di San Fransisco. Mendengar Mike mau menikah, Jules panik dan merasa terancam oleh kehadiran Kimmy, calon istri Mike. 

Saat Jules dan Mike bertemu kembali
Bertahun-tahun jadi satu-satunya perempuan yang paling dekat dengan Mike, Jules merasa cemburu dan takut tempatnya tergantikan. Plus, dia sendiri belum ketemu Prince Charming-nya. Terintimidasi oleh sikon, Jules menyadari bahwa sebenarnya bertahun-tahun dia jatuh cinta pada Mike tapi tidak mengakuinya. Sampai akhirnya kesempatannya nyaris hilang dan dia merasa harus mengambilnya. Jadi pergilah Jules ke San Fransisco menemui  Mike dan tunangannya dengan niat dalam waktu 4 hari tersisa dia harus menggagalkan pernikahan tersebut dan merebut Mike kembali. 


Ternyata tunangan Mike adalah perempuan sempurna di mata Jules, semua yang dia tidak miliki ada pada Kimmy. Pirang, ramah, ceria, cantik, sooo fit to be played by Cameron Diaz. Ditambah ayah Kimmy ternyata jutawan pemilik jaringan televisi. Jules sendiri mengakui, kalau dia tidak memiliki keharusan membenci Kimmy, Jules akan sangat mengaguminya. Jadilah sisa hari menjelang pernikahan dipenuhi usaha Jules merebut Mike. Dalam upayanya tersebut, Jules curhat pada editor dan kawan dekatnya, George (Rupert Everett) yang guaaanteng pisan, lebih ganteng dari Mike, sayangnya gay. George akhirnya datang menemani Jules dan meminta Jules menggunakan akal sehatnya. Benarkah ia mencintai Mike atau hanya masalah kalah menang saja? Kalau Jules benar mencintai Mike, maka katakanlah sejujurnya dan biarkan Mike memilih. Kalau Jules tidak mau mengatakannya, maka sebaiknya Jules tetap diam, melaksanakan tugasnya untuk pernikahan Mike dan mengucapkan selamat tinggal. Sayangnya, Jules tidak punya keberanian jujur pada Mike, sebaliknya supaya jaga gengsi, dia mengaku-aku kalau George adalah tunangannya dari New York. Dan kemudian segala kekonyolan berlangsung sampai pada puncaknya saat Jules mengaku pada Mike dan berakhir dengan menciumnya, namun Kimmy melihat kejadian itu dan marah lalu lari. Mike mengejar Kimmy dan Jules mengejar Mike.
My Best Friends Wedding (1997)  Quote (About phone michael kimmy gifs chasing answer)

Dalam kepanikan takut kehilangan Mike selamanya, Jules menelpon George dan George menanyakan kata kunci yang penting:"Who's chasing you, Jules? Nobody! Get it. There's your answer" Jules tersadar dan mengakui kesalahannya, meminta maaf pada Mike yang dijawab Mike dengan rasa terima kasih karena mencintainya begitu besar sampai melakukan kesalahan konyol. Endingnya Mike dan Kimmy tetap menikah sementara Jules dengan legowo meminjamkan lagu kenangannya bersama Mike untuk pengantin baru yang belum punya lagu tersebut. Saat Jules melihat mereka berdua berdansa, matanya berlinang-linang dan ia menghapusnya (uuuuhh so saaaad, I cried most at that scene). Untungnya tiba-tiba George datang, dressed up like James Bond, dan menghibur Jules dengan lagu favoritnya. And that's a wrap....

And she's crying to see their dance
Jalan ceritanya kacangan sih, tapi memang saya tidak suka nonton film yang pakai mikir. Kenapa saya suka film ini? Karena beberapa kali saya jatuh hati sama sahabat saya sendiri. Hhhmm akui saja, beberapa di antara kita begitu kan? Bahkan saya pernah buat janji yang sama hehehe. Untung saya married duluan, jadi ngga terlalu seperti si Jules deh hihihi. Waktu mantan kecengan SMA saya nikah (cinta monyet saya, pertama kali saya naksir cowok), hhhmmm rasanya sedikit banyak saya nelongso, ditambah saya ngga punya pacar saat itu (jujur ga pernah punya pacar selain bapaknya si Idan hihihi). Apalagi lihat dia pakai baju mantenan gitu di pelaminan, huaahuaaa rasanya saya mau balik pulang saja ga jadi salaman. Tapi tegar-tegarkan hati, saya angkat dagu dan menyalaminya serta istrinya. Ternyata saya ngga pingsan tuh, alhamdulillah. Kalau pingsan kan repot yang angkat saya. Nah waktu sohib saya (yang janjian konyol itu) nikah, untungnya saya udah nikah lebih dulu 8 bulan sebelum dia, sedang hamil Idan pula saat saya datang kondangannya, jadi saya menang hahaha.

Bukan sekadar sahabat cowok saja yang bikin mellow. Dulu kalau teman perempuan married, rasanya juga saya sedikit jealous dan sedih. Cemburu karena bertanya-tanya dalam hati, kapan giliran saya menikah dan sedih karena merasa dia ngga akan banyak meluangkan waktu lagi buat saya. Sedih karena saya kehilangan sahabat. Benar ngga banyak yang berpikir seperti itu? Atau jangan-jangan saya saja yang aneh?


Hhhmmmm buat teman-teman yang belum menikah dan mengalami sensi-sensi seperti saya dulu, sabar saja ya. Kalau dikejar seperti si Jules mengejar Mike, andaikan bukan jodoh juga ngga akan terkejar. Ikhtiar, tetap semangat dan terus berdoa. Percaya deh Mr and Lady Right ada kok disana buat kamu. 

Selasa, 01 Januari 2013

At the beginning of 2013

Yup...new year
Looking back at a year behind, felt like I've been on a roller coaster, going up, down, up again.
So that's what life was. A bumpy holey road
I'm not proud of what I've done the last year. Seemed I've destroyed my bright future career.
Breaking friendship with friends, captured myself in a prison of dignity.
Well, shamed on me.
Can't do this things a year ahead.
Have to be better.
Have to be more faithful.
Less my arogancy, being more humble.
Just have to stop tearing my self apart.
I can..I can...
Growing up is all I need to do


What progress, you ask, have I made? I have begun to be a friend to myself.
Hecato, Greek philosopher