Cinta

Cinta
Demi Wildan

Bebek

Bebek
Jepret-jepret karya WIildan

Kamis, 13 Januari 2011

HOW TO CHOOSE ELEMENTARY SCHOOL

Having a school-aged child nowadays is really making me suffer from a headache, specifically when he is ready to enter elementary school. How? Well, you know , a lot of stuffs to be concerned. Unlike those old days when the only qualification for you to join school was the ability to touch your ear from behind your head by hand (*bingung ga ngartiinnya?*).

Ah, kayaknya nggaya tenan sok ngomong bosone wong londo, lah wong nilai toefl saya cuma 583 (*pameeeer*). Pakai bahasa Endonesia aja ya, saya kan cinta bahasa Endonesia, secara saya orang Endonesia.

Lanjut ya, masuk SD sekarang jelas tidak sesederhana seperti jaman saya sekolah. Saat ini ada ujian masuk, ada psiko test, dll. Belum lagi pikiran jangka panjang terkait nanti bagaimana sekolah lanjutannya. Buat saya yang tinggal di Jakarta coret (baca: Bekasi), ini isu penting. Soalnya di tempat saya, belum ada SMP/SMA yang cukup representatif. Sistem rayonisasi memprioritaskan domisili sebagai syarat penting untuk masuk sekolah. Jadi, kecil kemungkinannya bila saya yang dari Bekasi ini menyekolahkan anak di Jakarta bila menyekolahkan anak di SD negeri di dekat rumah.

Alasan tersebut menjadi salah satu penyebab saya tidak memilih SD negeri untuk sekolah Idan. Alasan utamanya adalah saya tidak menyukai sistem pendidikan dasar yang ada saat ini di sekolah milik pemerintah. Sistem saat ini tidak menjadikan seorang anak berpikir kreatif, tidak membentuk karakter, dan tidak memacu anak untuk berkompetisi secara sehat. Yang terjadi adalah anak menjadi robot dan tidak berkembang sesuai potensinya. Ini menurut saya lho, tentu tidak bisa disamaratakan bagi semua sekolah dasar pemerintah. Bagaimana bisa membangun karakter seorang anak apabila satu kelas begitu padatnya?

Betul memang, pembangunan karakter dan pendidikan moral seorang anak tidak melulu tergantung oleh guru sekolah, tapi lebih penting adalah peran orangtua. Hanya rasanya sulit ya apabila kita menanamkan semua moral baik di rumah, namun di sekolah tidak bisa terwujudkan karena teman-temannya tidak memiliki dasar yang sama. Di sekolah dasar umum, anak datang dari keluarga berbagai strata ekonomi dan sosial (eh ga berlaku buat SD Besuki dan SD Argentina ya hihihi). Sering saya mendengar segerombolan bocah berseragam merah putih berbicara dengan bahasa yang kasar, kotor, kurang ajar, yang bahkan saya sendiri seumur-umur tidak pernah mengucapkannya. Bahkan saat mereka saya tegur, tidak tampak wajah bersalah, malah mereka mengejek saya. Kentara sekali tidak ada yang mengajari mereka tentang sopan santun. Peer-group seperti inikah yang kita inginkan untuk anak kita?

Peer group di usia sekolah merupakan pengaruh terbesar bagi kehidupan anak. Pada usia ini anak akan lebih percaya pada peer group-nya daripada orangtuanya. Sehingga penting untuk mencari peer group yang tepat.

Di sekolah swasta yang bermutu (*baca : mahal*), strata sosial ekonomi dari setiap siswanya rata-rata sama. Artinya yang punya uang-lah yang bisa masuk ke sana. Dan biasanya orangtuanya memiliki dasar pendidikan yang sama, sehingga sedikit banyak nilai-nilai yang ditanamkan di rumah juga serupa. Tapi ini seperti pedang bermata dua. Kenapa? Karena anak-anak di sekolah ini terbiasa hidup berlebih dengan fasilitas yang serba tersedia, maka mereka akan menjadi pribadi-pribadi yang manja dan materialistis, yang menggampangkan segala cara dengan uang. Apakah ini juga yang kita mau untuk anak kita?

Hhhh…mengelus dada nih saya? Tambah pusing jadinya. Ada gak ya sekolah yang bagus dengan kualitas pendidikan yang saya mau, tidak terlalu mahal, dengan murid-murid yang santun dan berakhlak ihsan? Ada yang bisa bantu saya??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar