Cinta

Cinta
Demi Wildan

Bebek

Bebek
Jepret-jepret karya WIildan

Selasa, 21 Desember 2010

How To Choose A Good Pediatrician - Limited Patients Edition

Catatan ini saya buat karena melihat kebingungan teman-teman saya yang non-dokter dalam memilih seorang dokter anak yang baik. Berhubung saya hampir tidak pernah membawa anak saya ke seorang SpA, sebenarnya saya tidak punya pengalaman sebagai seorang ibu pasien(*catat:tidak termasuk ujian dengan mereka ya? Wah itu mah nightmare..hehehe*). Jadi ini tips dari saya sebagai seorang (calon) SpA berdasarkan pengalaman sehari-hari, ya... Catatan aja, karena hobi saya menulis bertele-tele ga penting gitu, maka posting akan saya buat beberapa edisi (deeuuh novel bersambung kali ah)

1. Limited patients are better
Siapa bilang dokter anak yang baik itu selalu ditandai dengan berjubelnya jumlah pasien? Dari sisi saya pribadi, semakin banyak pasiennya, sang dokter semakin tidak fokus. Bayangkan kalau dalam waktu praktek yang sempit (sekitar 2-4 jam), harus mendiagnosis ...katakanlah, 30-50 pasien? Pengalaman saya, di pasien no 10, biasanya saya sudah mulai lelah, baik lelah berbicara, berbasa-basi, membujuk pasien, dan yang paling bahaya, LELAH BERPIKIR! Bahayanya, risiko malpraktek akan meningkat. Saya juga akan mulai stres diburu-buru perawat yang mengingatkan pasien-pasien yang menunggu masih banyak. Akibatnya, saya akan malas melayani konsultasi, menjelaskan apa penyakit si anak, apa yang harus dikerjakan orangtua, bagaimana memakai obat-obatnya, mengapa saya resepkan obat tersebut. Dampak lebih lanjut adalah ketidakpuasan dari orangtua pasien, kesalahan penggunaan obat, kepanikan orangtua yang berlebih apabila belum ada perubahan kondisi anaknya, ujung-ujungnya adalah hilangnya kepercayaan orangtua terhadap dokternya. Lebih parah lagi kalau sampai ada kesalahan fatal yang berakibat kematian atau tuntutan hukum.
Lalu berapa banyak idealnya pasien seorang dokter? Tergantung masing-masing personal sih niatnya apa. Kalau mau cari uang, ya makin banyak makin baik kali ya? Ah tapi kan niat jadi dokter tidak murni didasarkan pada ekonomi semata kan? Niat menolong lebih banyak kok. Jadi sekitar 10-15 pasien per jam praktek antara 2-3 jam. Sehingga waktu konsultasi per pasien bisa cukup lama. Toh kalau rizki ga kemana kan? Bisa dari tempat lain, misalnya jualan kalung kayak saya atau jualan kue kayak Chyntia (hihihi ngelantur)
Dari sisi pasien sendiri, terlalu banyak pasien dari seorang dokter juga tentu tidak nyaman, bukan? Bayangkan anak anda harus menunggu sekian jam hanya untuk bertemu sang dokter 2-3 menit! Si anak lelah, mengantuk, rewel, belum lagi bila kondisi klinisnya tidak baik, seperti sedang demam, sakit kepala, muntah, diare....Duh, ga tega kan, bunda? Risiko lain dari lama menunggu adalah si anak akan terpapar oleh kuman/virus dari pasien lain yang sama-sama menunggu di ruang tunggu. Bisa-bisa yang tadinya cuma selesma aja, pulang-pulang kena cacar air. Bonus yang tidak menyenangkan kan?
Belum lagi ekspektasi orangtua untuk minta konsultasi tidak selalu terpenuhi, karena si dokter akan segera menulis resep, menyerahkannya dan berkata "Ada lagi yang mau ditanya?" sambil menyerahkan status pasien pada perawat. Ooh ooh...itu seperti usiran halus,kan? Mau nanya lebih lanjut, tapi kok ga enak? Mau langsung keluar,tapi kok belum jelas. Bingung kan? (*Ini pengalaman pribadi waktu antar mama saya ke seorang profesor neurolog top di negeri ini*)
Seorang guru (baca:konsultan) saya menerapkan sistem 'limited patient" ini di praktek sehari-harinya. Beliau hanya mau menerima 10 pasien per jam praktek dengan perjanjian. Jadi orangtua puas dan beliau juga cukup nyaman memeriksa pasien. Lalu apakah beliau kurang rizkinya? Ah tidak tuh, buktinya rumahnya cukup luas dan besar, sering liburan ke luar negeri juga (ah jadi inget nih, belum pernah ke luar negeri hihihi)
Kesimpulannya, banyaknya pasien akan mempengaruhi medical decisions seorang dokter.

Edisi selanjutnya tentang Waktu Konsultasi, yaa...disambung kapan2 soalnya diriku ngantuk ;P

1 komentar:

  1. setuju banget mb :),rejeki gak kemana kok, kita tenang pasien pun senang....
    Tapi sayang sepertinya ini cuma untuk daerah yang banyak SpAnya contoh jakarta, kalo di pedalaman kita harus siap untuk meladeni kebutuhan masyarakat akan dokter anak yang biasanya cuma 1 *hiks*, mungkin disinilah perlunya pendidikan berkelanjutan untuk dokter di tempat terpencil supaya gak sedikit-sedikit rujuk ke spA...:D *waduh, kalo gini bisa dapet kasus2 sulit (baca: menantang) dong*

    BalasHapus