Akhirnya kami sepakat menitipkan Wildan menempuh pendidikan dasarnya di Jakarta Islamic School. Banyak pertimbangan yang kami pikirkan masak-masak sebelumnya. Biaya sekolah yang cukup mahal adalah satu yang paling menjadi pertimbangan. Kekhawatiran bahwa Wildan akan bosan dengan jam sekolah yang panjang juga menjadi bahan pemikiran berhari-hari. Tapi, akhirnya kami menetapkan hati dengan membaca Basmallah semoga keputusan ini adalah yang terbaik bagi Wildan.
Toh bila anak orang lain mampu, rasanya Wildan juga akan sanggup bersekolah di sana. Kami juga tidak terlalu khawatir dengan Wildan mengingat dia anak yang cukup ceria, easy to warm-up, mudah bersosialisasi dan cukup mandiri. Kemampuan konsentrasi dan belajarnya semakin hari juga semakin meningkat.
Bukan karena gengsi menyekolahkan anak di sekolah swasta yang berbiaya tinggi, melainkan merupakan kebutuhan, walau bukan keharusan. Kesibukan kami yang sama-sama mencari nafkah dan komitmen tidak memiliki pekerja rumah tangga lagi adalah alasan yang sangat kuat. Setelah survey ke beberapa sekolah, saya merasa kecewa terhadap pendeknya jam sekolah dan padatnya populasi murid dalam satu kelas. Duh, dapat apa nanti ya di sekolah? Ehm, kalau jam 10 sudah pulang, sama siapa di rumah? Masa titip Atung Uti lagi? Nanti di rumah, dia ngapain aja? Nonton TV? Main game? Belum lagi kalau harus les tambahan. Siapa yang antar? Masa Atung lagi? Kan Atung juga makin lama makin sepuh. Kalaupun terpaksa punya asisten lagi, kayaknya mustahil bisa bantu Wildan belajar di rumah. Lah sekolahnya si asisten aja putus, masa mau bantu belajar Wildan?
Seperti mensimulasi diri sendiri akhirnya. Dengan pertanyaan2 itu, akhirnya kami yakin bahwa Wildan sekolah di JIS yang full-day adalah jawabannya. Kontroversi mengenai baik buruknya full-day school terhadap psikologi anak memang masih beredar di kalangan pemerhati pendidikan. Tapi kami berpendapat, memang tidak ada yang sempurna. Tugas kamilah nanti yang menambal ketidaksempurnaan itu.
Pendidikan anak memang tanggungjawab utama orangtua. Sebaik apapun sekolah si anak, orangtua-lah yang memegang kendali penuh. Sangat tidak bertanggungjawab bila melepaskan 100% pendidikan anak terhadap guru dan sekolah. Namun apabila orangtua tidak mampu menyediakan waktu 100% untuk mendidik anak karena satu dan berbagai hal (seperti mencari nafkah), maka seharusnya orangtua mencari mitra pendidik yang dianggap terbaik. Untuk kami, mitra ini haruslah yang memiliki kesamaan visi dan misi dalam membentuk karakter anak, tidak melulu menekankan pendidikan sebatas angka di lembar evaluasi. Biaya pendidikan yang mahal itu merupakan kompensasi untuk kesamaan tujuan dan visi kami.
Mengapa di JIS? Tentunya banyak alasan. Sekolah full-day berbasis lingkungan Islami lainnya dengan visi setara menetapkan biaya yang lebih tinggi daripada JIS dan menurut kami tidak masuk akal. Kedua lokasi sekolah tidak terlalu jauh dan masih memungkinkan Wildan menggunakan angkutan umum untuk berangkat dan pulang sekolah sendiri nantinya. Tentunya saya sangat ingin Wildan mandiri suatu saat nanti. Ketiga , lingkungan sekolahnya termasuk cukup tenang di lingkungan perumahan, tidak dilintasi kendaraan. Last but not least, saya menginginkan Wildan terpapar pada suasana Islami, dengan tutur kata santun, terbiasa mengucapkan salam. Dengan berada pada lingkungan yang baik sedari kecil, kami berharap kelak Wildan mampu memiliki filter yang baik terhadap lingkungan yang buruk. Saya tidak menjadikan Wildan steril, tetapi saya ingin Wildan menjadi imun terhadap paparan penyakit sosial. Bila Wildan memiliki penyaring yang baik, seburuk apapun lingkungannya kelak, maka ia akan mampu memilah mana yang baik, mana yang tidak.
Semoga pilihan kami tidak keliru. Semoga harapan kami tidak terlalu tinggi. Semoga kami bisa menjaga Wildan sebaik-baik yang diharapkan Allah SWT. Semoga kami dapat mendidik Wildan setinggi yang kami dan Wildan mampu. Semoga kami menjadi orangtua yang sebaik-baiknya bagi Wildan. Karena tidak pernah ada sekolah untuk menjadi orangtua yang baik dan sempurna selain dari pengalaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar