Semakin hari semakin sering ketemu anak dengan masalah obesitas dan gizi lebih di kamar praktek. Lebih banyak lagi kalau lihat di sekolah-sekolah, apalagi yang termasuk sekolah elit. Mayoritas muridnya berpipi tembam, berperut buncit dan bergerak lamban. Bahkan tadi pulang dari RSCM aja, ketemu anak tiga tahun gueeeendut banget diangkot sampai ibunya ga bisa mangku. Tidak bisa dipungkiri, obesitas sekarang menjadi salah satu masalah gizi utama di Indonesia dan dunia secara umum. Bahkan WHO jelas menyatakan bahwa obesitas merupakan masalah epidemi global. Ironis sih, mengingat angka kejadian gizi buruk di Indonesia juga masih tinggi dan makin meningkat dari tahun ke tahun.
Stigma anak gemuk adalah anak sehat dan lucu masih mendominasi budaya kita. Semua ibu preokupasi membuat anaknya terlihat lebih gemuk. “Kalau gemuk, gemes lihatnya, dok!” atau “Kalau kurus kan malu saya, nanti dikira mertua saya, anak saya ga diurusin” begitu alasan beberapa ibu yang saya tanya kenapa kepengen anaknya gemuk. Duh, ganti saya yang gemes sama ibunya!
Anak gemuk memang lebih menyenangkan dipandang dibanding anak yang lebih langsing, ya.Pipinya kayak bakpau, enak kalau dicubit-cubit. Tapi mereka tau ga sih bahayanya dari kelebihan berat badan di masa anak? Kalau tau, kayaknya pada ogah kali ya punya anak gemuk. Apalagi sudah sampai tahap obesitas.
Apa sih obesitas? Obesitas adalah suatu KELAINAN atau PENYAKIT yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebih. Bila dengan pengukuran berat badan yang dibandingkan tinggi badan (BB/TB) maka hasilnya berada di persentil ke 95 kurva standar atau > 120%. Atau bila Body Mass Index (BMI) > 20%. Jadi, obesitas itu penyakit lho. Anak obesitas berpotensi memiliki banyak kelainan, tidak saja di masa kanak2nya tapi juga di masa dewasanya. Sepintas tidak ada yang salah dengan anak gemuk, tapi kalau kita mau lihat lebih dalam lagi, banyak masalahnya. Mulai dari psikis sampai fisik.
Asal tahu saja ya, sudah banyak penelitian yang membuktikan bahwa manusia yang di masa kanak2nya merupakan anak obesitas, di usia dewasa mudanya mengalami berbagai gangguan dan gejala kardiovaskuler. Misalnya serangan jantung dan stroke yang datang lebih dini di usia produktif. Penyakit degeneratif lain seperti hipertensi , diabetes mellitus, hiperkolesterol juga datang lebih awal. Akibatnya mereka menjadi manusia yang tidak produktif bahkan harapan hidupnya berkurang. Apa ini yang kita mau dengan anak yang mestinya kita harapkan menjaga kita di hari tua? Nggak kan? Anak obese akan malas bergerak karena beratnya beban yang harus ditanggung oleh tulang2 kakinya. Sering ditemukan anak obese mengeluh nyeri sendi, sehingga semakin malas dia bergerak. Jadilah vicious cycle yang sulit diputus sehingga saat ia dewasa, ia akan menjadi orang dewasa yang pemalas.
Anak laki-laki dengan obesitas juga sering punya keluhan masalah “buried penis”. Sering sekali ketemu orangtua yang mengeluhkan anaknya memiliki penis yang kecil, padahal sebenarnya penisnya cukup ukurannya, tetapi tertimbun di jaringan lemak yang sangat tebal. Ujung2nya kalau si anak sudah cukup mengerti di usia lebih dewasa, dia akan mengalami rasa rendah diri bahkan depresi. Depresi bahkan lebih sering dan lebih berat gejalanya apabila obesitas ini dialami anak perempuan. Duh, kalau sudah ketemu anak depresi begini, bahkan dokternya pun bingung menerapinya karena masalahnya adalah body image. Tahu kan, peer-group pada anak itu bisa jadi sangat kejam? Anak lain akan selalu mengejek anak gendut dengan ejekan yang menyakitkan yang akan memperberat depresi si anak. Dan ini semua seperti lingkaran setan. Semakin depresi si anak, semakin si anak menarik diri, semakin dia melarikan diri pada makanan karena makanan satu-satunya yang dapat memberikan kepuasan. Memotong lingkaran ini tidak mudah.
Saya tidak mau membahas bagaimana mengatasi anak dengan obesitas, saya merasa belum cukup kompeten untuk itu. Tapi saya justru ingin menekankan bagaimana mencegah anak agar tidak menjadi obes.
1. Buang stigma anak gemuk adalah anak sehat. Buang stigma ini dari pikiran orangtua, nenek kakek dan pengasuhnya. Sehingga mereka tidak terpicu untuk memberi makan anak dengan kalori yang berlebihan.
2. Ubah gaya hidup di rumah. Matikan TV, batasi waktu menontonnya sejam sehari dan simpan jauh2 segala game console yang anak miliki. Ajak anak bergerak, belikan sepeda, naik sepeda sepeda bersamanya. Belikan bola sepak, main bola bersamanya. Jangan ke mal untuk rekreasi, pindah piknik ke alam bebas. Seputar Jakarta juga masih banyak kok, ke Taman Suropati, Taman Menteng, Monas, Taman Mini atau ikut Car Free Day. Ajak anak main layangan, jogging atau apa saja yang membuatnya bergerak. Anak sekarang kan tidak lagi selalu bermain dengan teman2nya di luar rumah, mereka cenderung diam di rumah, menonton TV atau online. Jadi orangtua lah yang harus berkorban sedikit mengajak dan ikut serta agar anaknya bergerak. Ingat orangtua yang juga obese, cenderung memicu anak menjadi obese, lebih karena gaya hidup bukan karena semata faktor genetik. Potong bujet makan di fastfood, dan ajari anak mencoba makanan tradisional yang lebih kaya serat dan sayuran. Bagaimana mau mengajak anak makan sayur kalau orangtuanya tidak kasih contoh? Ganti snack di rumah dengan buah atau camilan dengan gandum utuh. Inti dari semua ini adalah orangtua dan waktu yang diluangkan bersama! Saya rasa kalau meluangkan waktu untuk anak itu bukan pengorbanan ya? Itu kewajiban orangtua.
3. ASI ekslusif sebagai benteng awal melindungi anak dari obesitas. Tentang asi ini saya mau bicarakan di lain waktu. Anak dengan ASI memang cenderung lebih langsing daripada bayi dengan formula, tapi harus diingat bahwa massa ototnya lebih banyak. Bayi dengan susu formula memang gembrot tapi dengan massa lemak berlebih. Jangan berlebihan memberikan susu formula pada anak. Toh setelah usianya 1 tahun, makanan utamanya bukan lagi susu, tapi makanan keluarga. Kebutuhan susu pada anak di atas 1 tahun hanya 400 ml sehari atau 2 gelas sehari agar kecukupan kalsiumnya terpenuhi.
Pokoknya begini, peranan orangtua itu penting dalam mencegah anak menjadi obes. Dan tentu saja lebih baik mencegah daripada mengobati. Ada yang mau menambahkan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar