Sebenarnya ini adalah puncak gunung es akumulasi bertahun2 lamanya terhadap kesenjangan komunikasi antara dokter dan pasien. Antara profesi kedokteran dan masyarakat awam. Hasil feodalisme yang ditanam oleh pihak penjajah terhadap masyarakat Indonesia. Yang memungkinkan saat itu dokter menjadi kaum terkemuka karena saking jarangnya dokter pribumi sehingga masyarakat berkesan mendewakan Tuhan ditambah tidak ada keberanian bertanya dari masyarakat awam karena pola pikir saat itu yang masih sederhana. Otomatis karena ketidakseimbangan jumlah provider dan konsumer, maka jumlah waktu konsultasi menipis karena pasien terlalu banyak. Wajarlah dokter saat itu praktis menuai banyak imbalan secara ekonomi dari hasil kerjanya. Dan mereka menjadi orang berkecukupan, beberapa malah sangat kaya.
Waktu saya kecil, saya sering ke dokter. Saya suka mencium bau antiseptik di ruangannya yang putih bersih, melihat wajahnya yang kebapakan dengan jas putih, melihat lihat seputaran rumahnya yang cukup mewah untuk ukuran saat itu. Pokoknya dokter tsb idola saya sekali deh (sampai sekarang dokter ini masih ada, berprakteik dekat dengan tempat saya praktik, tetapi setelah saya jadi dokter sendiri, menurut saya dokter ini bukanlah tipe ideal saya tentang seorang dokter....sadly). Terbetik di pikiran saya kecil bahwa saya harus jadi dokter nanti. Kenapa? Jadi dokter itu menyenangkan, menyembuhkan anak2, mendapat uang, punya rumah bagus, punya mobil bagus dan banyak,
Singkat cerita, saya berhasil masuk FK Undip via jalur UMPTN (jaket kuning gagal dimiliki saat itu), murah meriah biaya masuk dan sekolahnya, masuk cuma 2,5 juta, per semester hanya 180rb+30rb. Murah toh? Tapi sebenarnya setelah dihitung2 sama juga akumulasinya dengan biaya sekolah dokter swasta karena saya terpaksa sekolah di luar kota yang butuh biaya hidup cukup besar. Senangnya jadi dokter, terbayang saya akan menjadi seperti dokter di lingkungan saya itu. Selesai sekolah nanti, saya bisa praktik sendiri, punya pasien banyaaaaaak kayak beliau, punya rumah dan mobil bagus.
Benarkah???
Waktu saya orientasi awal bersama ortu dan pihak fakultas, seorang guru saya memberi wejangan yang rupanya sangat diingat oleh Bapak. Kira2 begini : Bapak Ibu, jangan bangga anaknya bisa masuk FK sekarang. Kenapa? Karena menjadi dokter sekarang kemungkinan menjadi kaya raya sangat sedikit, kecuali memang Bapak Ibu sudah membekali warisan yang cukup buat anak2 Bapak Ibu sekalian. Atau Bapak Ibu sudah menyiapkan RS buat putra putrinya. Tapi jangan khawatir, anak Bapak Ibu juga tidak akan menjadi orang yang susah2 amat. Kalau sekadar rumah atau sepeda motor pasti terbeli. Kalau sekadar makan sehari2 pasti terpenuhi.
Deggggg!!! Hati kecil saya mulai waswas. Wah bayangan punya mobil sendiri main menjauh perlahan. Ya sudah, kadung kecemplung toh? Saya tetap ambil kedokteran walau saat itu diterima juga di STAN
Tahun 2001 saya selesai, diwisuda, jreng jreng akhirnya punya gelar di depan nama. Kereeeeen, sementara sarjana yang lain gelarnya di belakang. Yuhhhuuu I am a doctor. Tapi setelah lulus saya kemana? Bingung....
Akhirnya saya kembali ke Jakarta dengan gelar tetapi menganggur. Yup menganggur saudara saudari.... Saya pikir jadi dokter ngga bakalan menganggur, langsung ditawarin kerja sana sini. Ternyata susah cari kerja. Saya coba lamar dibeberapa RS, saya tidak diterima karena fresh graduate. Akhirnya saya terima job jaga klinik 24 jam. Di mana2 tuh saya pernah muterin Jakarta sampai Bekasi Bogor. Ada yang tarifnya cukup menyenangkan dapat 300rb/hari ada yang akhirnya saya cuma dapat uang duduk saja 50rb/hari. Itu 24 jam ya pemirsa. Loh menyedihkan ya? Sebulan pendapatan saya cuma berkisar 1,5 sampai 2 juta. Tapi Bapak saya membesarkan hati saya, ngga apa2 Nduk, pegawai biasa dikantor ngga dapat segitu kalau baru mulai. (pegawai biasa ngga kerja 24 jam, pak...pengen bilang gitu tapi takut bapak kecewa). Beliau masih euforia punya anak bergelar dokter. Yah masih bisa nabung barang 500rb lah per bulan. Sisanya buat naik kendaraan umum (loh saya ga punya mobil), beli bedak, pulsa, lipstik, baju, beli makan, beli pembalut dll.
Akhirnya saya ikut program PTT di Kabupaten pemekaran, Lampung Timur. Tiga tahun saya dinas di daerah yang kalau di Pulau Jawa dihitung terpencil, namun di Sumatera dianggap tidak. Di daerah yang keras ini (sarang pencuri dan pembegalan), saya bertahan 3 tahun sementara banyak sejawat lain tidak. Bukan karena saya betah, tapi karena saya malas mengurus pindah2. Adakah rumah dinas? Tidak ada. Lalu tinggal dimana? Kontrak dari penduduk 2,5 juta per tahun. Yang bayar rumahnya siapa? Bayar sendiri. Emang gajinya berapa? 900rb per bulan potong ASKES 25 rb. Rumahnya di kecamatan lain yang lebih aman, jaraknya 15 km. Ke puskesmas naik apa? Akhirnya saya terpaksa menggunakan mobil dinas puskesmas buat pulang pergi (hiks penggunaan fasilitas negara). Bensinnya? Bayar sendiri 25rb per hari isi 10 liter. Uangnya? Ga ada! Makanya saya praktik pribadi di rumah kontrakan, lumayan lah hasilnya. Bisa nabung? Ngga bisa nabung banyak juga sih. wong saya kasih harga periksa dan obat itu 20ribu untuk pasien anak dan pasien dewasa 25rb. Pakai obat2 me too drug yang murah. Kalau obatnya ngga banyak, ya saya bisa simpan buat jasa medis saya 10rb. Kalau obatnya banyak karena sakitnya lumayan serius, ya saya tekor.
Puas disana walau pasiennya banyak? Ngga lah. Saya berasa bodoh menjadi dokter di pelosok, tidak ada yang mengkontrol tindakan saya, apakah itu benar atau tidak. Saya harus jadi pintar. Lupakan motivasi jadi dokter menjadi kaya. Gambaran pak dokter idola saya yang bersih kinclong plus mobil mewahnya hilang sudah. Saya mau jadi pintar, ngga mau jadi dokter bodoh yang bisa membahayakan nyawa pasien. Harus sekolah spesialis.
Singkatnya, sekolah lah saya di tempat yang selalu saya pandangi dengan mata berbinar bila melewatinya. Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Takut juga sih karena tabungan ngga banyak, baru punya anak pula. Tapi riski anak saya ternyata. Saya masuk dari jalur reguler, tanpa rekomendasi siapapun hanya kepala dinas saya. Horeeee....dapat sekolah murah, cuma bayar 5 juta waktu masuk dan 3,1 jt per semester. Tapi kesenangan hanya semata karena saya masih harus beli buku2, fotokopi, atau membiayai pemeriksaan/obat pasien kurang mampu. Bukan karena paksaan, namun sekadar kasian. Lumayan keluarnya, pernah waktu jaga saya dan kakak kelas saya keluar dana 500rb. jumlah yang banyak bagi dokter yang tidak berpenghasilan seperti kami. Lalu uang sekolah dari mana?
Kali ini suami saya jadi penyandang dana. Berusaha ga meminta sama Bapak lagi sekarang. Gajinya juga ga banyak. Jangan tanya deh gimana kehidupan kami waktu saya masih residen. Mengingatnya aja bikin saya nangis. Kontrak di rumah petakan per bulan 700rb (sementara teman tinggal di kos2an bernilai 2jt/bulan) , baju lungsuran dari tante, beli susu anak yang paling murah di pasaran, sepatu kadang sampai dijahit berulang. Lebay? Ngga! Ini saya cerita apa adanya. Kadang saya terpaksa menahan lapar dan sering berpuasa Senin Kamis semata karena saat itu uang di kantong saya hanya 5rb rupiah cukup untuk naik angkot dari salemba ke pondok gede. Yah saya ngangkot,kadang saking lelahnya dan tertidur di angkot sampai kebablasan kelewatan turun. Lumayan bisa bobo sejenak. Bagaimana saya survive melewati masa2 residen saya saja masih membuat saya heran. Alhamdulillah, Allah SWT selalu cukupkan rizki saya. Ngga banyak memang, tapi kami ga sampai kelaparan. Dan motivasi saya bukan lagi jadi kaya....bukan lagi jadi pintar...tapi cepat lulus hehehe. Versi serius: Ya Allah betapa banyak anak tidak beruntung yang sakit, tidak sesehat anak saya, maka pinjamkanlah tanganMu agar saya dapat menolong mereka. TITIK
2011 saya bergelar Dokter Spesialis Anak sampai sekarang. Lalu apakah saya menjadi kaya sekarang karena sudah jadi spesialis? Pak dokter idola saya masih dokter umum, saya sudah DSA, keren kan? *winkwink. Oh salah besar.... Setelah saya selesai, pekerjaan memang datang sendiri, tapi memilih yang sreg di hati itu sulit. Berulangkali pindah rs karena berbagai alasan akhirnya saya cukup puas pada kondisi saya sekarang. 1 tahun pertama jadi DSA kami masih tinggal di rumah petakan tsb, sepertinya tidak ada tetangga kami yang penjahit, pemilik toko di pasar,
Gambaran pak dokter ganteng yang klimis di ruang serba putih berbau karbol, dengan halaman rumahnya yang luas, dan garasi parkirnya hilang dari benak saya. Saya cukup bahagia menjadi diri saya, dokter yang tidak menggunakan sneli, hanya berbatik sederhana, dikelilingi pasien2 kecil, menyaksikan mereka tumbuh dan membagikan stiker pada mereka bila tidak menangis saat diperiksa. Hanya ada satu pertanyaan adakah di antara mereka yang ingin menjadi seperti saya?
Wallahualam bi showab
Terima kasih gambaran dan kisah hidupnya sebagai seorang dokter dok.. cukup membantu saya yang sedang bingung kelak bagaimana setelah menjadi dokter.. (sy mhs kedoktra smt akhir dok hehe) semoga dokter dan keluarga sehat dan semakin sukses di masa depan.. amin yrabb
BalasHapusCerita yg sangat menarik... selamat berjuang
BalasHapussaya bacanya pusing dok
BalasHapussoalnya sekarang status sebagai suami residen
hehehe