Sewaktu saya di rsud, seorang spesialis bisa memegang 3-4 ruangan kelas 3. Satu ruangan diisi oleh 6 bed. Jadi kurang lebih 18-24 pasien rawat dengan berbagai masalah. Kalau kasusnya sederhana macam diare atau dbd tanpa komplikasi sih masih enak ngga perlu mikir terlalu berat. Tapi namanya rsud kadang pasien masuk sudah dalam keadaan bonyok limpahan dari tempat pelayanan kesehatan lain dengan berbagai alasan. Kalau dari puskesmas biasanya dengan alasan perlu fasilitas lebih baik. Kalau dari rs swasta dengan alasan kehabisan biaya. Pasien-pasien seperti ini yang membuat kepala bisa pening, makan ga enak dan tidur terganggu. Apalagi kalau biaya menjadi isu utama.
Sebenarnya sangat enak merawat pasien kelas 3 yang menggunakan jaminan kesehatan dari pemerintah, apalagi dari jaminan pemda DKI. Obat dan fasilitas yang dicover cukup banyak. Senang dong dokternya ngga usah mikir bagaimana mengobati pasiennya. Mau ct scan, tinggal buat surat pengantar khusus ke bagian jamkesmas disertakan alasan permintaan dan kepentingannya. Kami bilangnya surat cinta. Mau dapat albumin yang harganya 1juta sebotol juga tinggal buat surat cinta. Asal alasannya jelas pasti dapat kok. Yang susah kan kalau pasiennya masuk RS, belum punya jaminan apa-apa sementara masuk dalam golongan tidak mampu. Mau beli obat, mau periksa ini itu, ngga punya uang. Yah kan jadi sudah yang mengobati juga. Diminta buat surat tidak mampu, KTP dari luar Jakarta. Ya ngga bakal dikasih dong SKTM/jamkesmas dari pemda DKI, lah bukan warganya kok. Kan pemda juga maunya prioritas warganya dulu dong yang dibantu.
Kalau kasus begini tinggal dokter dan perawatnya yang puyeng. Mesti putar otak bagaimana caranya itu pasien sembuh walaupun ngga punya uang. Trik saya dan rekan-rekan perawat biasanya pakai obat-obatan pasien yang sudah pulang. Jadi kalau pasien jamkesmas pulang dan masih ada sisa obat, biasanya disimpan perawat. Karena mekanisme retur obat untuk jamkesmas juga ribet. Jadi kalau ada sisa 1 ya disimpan saja. Bukan..bukan buat dijual lagi (jangan negatif dulu,ya), tetapi untuk cadangan kalau-kalau ada pasien tidak mampu masuk tanpa jaminan. Tentu saja kalau pasien masuk dengan biaya sendiri, obat-obat sisa dikembalikan supaya uangnya kembali. Pintar ya perawat-perawat itu? Sering kali ada pasien masuk dirawat tanpa jaminan dan tidak mampu, sejak mulai opname sampai keluar rawat tidak pernah menebuskan resepnya. Obat dan cairan diberi dari stok yang tersisa. Pasien dan keluarganya kadang ngga ngerti kan yang seperti ini, yang penting diinfus dikasih obat kadang ga peduli darimana obatnya. Kalau sial stok obat habis, yaaaah bagaimana lagi? Tentu saja pasiennya tadi ngga bakal dapat obat apa-apa. Lah diberi resep ngga ditebus, terus darimana obatnya dapat? Kembali lagi pasien ngga tahu apa-apa, merasa tidak diobati dengan baik. Dirawat tapi kok ngga diberi obat, begitu laporannya keluar. Looooh, resepnya ngga ditebus sih. Kalau obatnya masih murah terbeli, biasanya dokternya masih bisa belikan. Saya acapkali belikan obat buat pasien, apalagi bila obat tersebut dibutuhkan untuk resusitasi. Dan koass saya akan berlari sekencang-kencangnya ke apotik tidak menggunakan lift tapi lewat tangga karena menunggu lift akan sangat makan waktu. Apakah yang seperti ini dibilang tidak peduli?
Bukan pembelaan pribadi, namun terkadang bila memang diperlukan dana dalam jumlah besar sementara pasiennya tidak punya jaminan apa-apa, saya (dan banyak dokter lain melakukannya) akan mencarikan donatur. Biasanya saya "mengemis" ke teman-teman sejawat di grup BBM, atau lari ke yayasan tertentu yang cukup murah hati. Misalnya Ursa Mayor Charity, punyanya alumni Santa Ursula, atau ke Yayasan Buddha Tzuchi atau ke Dompet Dhuafa. Bahkan kalau perlu pendampingan, saya panggil LSM yang bergerak di bidang itu. Dan semua sejawat saya di rsud tersebut semua melakukannya. Jadi ini yang namanya tidak peduli? Hhhm lalu seperti apa ya definisi peduli.
Kalau kesannya pelayanan di kelas III memble, yok kita lihat lagi sama-sama. Saya sudah sebut diatas tingginya beban tenaga medis di kelas III rsud. Satu dokter (satu kepala) menangani 18-24 pasien. Karena banyaknya kadang terlupa apa saja yang sudah dikerjakan untuk pasiennya. Dokternya gagal fokus karena beban yang tinggi. Perawatnya untuk 24 pasien tersebut biasanya hanya 4-5 di pagi hari, namun pada jam luar kerja hanya 2-3. Kebayang dong lelahnya kayak apa, mondar mandir sana-sini. Makan dan bahkan duduk saja mereka sulit kok. Masih dikritik perawatnya judes. Yaaaah siapa sih yang ga judes kalau dari pagi belum makan dan minum? Sering ada kata-kata seperti ini, kalau diluar negeri perawatnya mau nyebokin, mau nyuapin ,mau mandiin, jadi keluarga yang nunggu ngga mengerjakan apa2. Disini , perawatnya mana mau mandiin/nyuapin? Di luar negeri kan rasio perawat pasiennya cukup rendah, 1:3. Lah disini? 1:6. Wajar dong kalau perawat mengandalkan peran penunggu pasien untuk mengerjakan hal-hal diluar tindakan medis yang bisa dilakukan keluarga. Yang jelas kan kalau pasang infus, menyuntik obat, pasang selang ini itu ngga didelegasikan ke keluarga.
Dan karena pelayanan utama di kelas III rsud adalah pasien tidak mampu yang menggunakan jaminan pemerintah, tentu harus ada pencatatan yang jelas dari pihak rs agar mereka bisa mengklaim biaya perawatan yang dibebankan ke pemerintah. Terkait hal ini, tentu ada birokrasi yang berlaku. Ada verifikasi, ada kertas-kertas yang harus diisi, ada tanda tangan dari pihak yang berwenang. Supaya klaim bisa dicairkan. Kalau ngga cair, waduh tentu saja supply obat terhenti karena farmasi tidak mau mengirim obat lagi ke rs. Dokternya juga bisa-bisa ngga dibayar, kasian kan padahal sudah lelah tenaga dan pikiran. FYI, jasa poli spesialis di rsud jaman saya itu rp 10.000 per pasien. Jasa visit rawat inap Rp 25000 perpasien. Jasa SC Rp 75000. Dan gaji saya selaku tenaga honorer yang bukan pns sebulan cuma Rp 500rb. Murah ya? Padahal asisten RT saya aja gajinya Rp.1jt. Buati ongkos bensin aja uangnya ga cukup. Jadi mengandalkan jasa medis dari pasein. Lah kalau ngga dibayar? Kasian anak saya kan ngga bisa sekolah.
Pasien di poli itu bisa 70-80 orang kalau di hari saya. Terbayang berapa yang bisa saya dapat andai itu pasien saya pindah ke praktek swasta saya? Bagaimana mau edukasi panjang lebar dengan penyakitnya kalau saya sudah stres melihat antrian diluar mengular dan mereka semua pasang tampang marah karena menunggu lama? Akhirnya jujur saya tidak bisa bicara banyak. Karena tidak bisa bicara banyak, konsultasi tidak berlangsung, pasiennya menganggap dokternya judes. Wah kalau saya sebawel di praktek swasta saya yang sekali konsultasi habis minimal 5 menit kalau sakit-sakit ringan saja, kalau berlaku di rsud kapan ya selesainya? 400 menit minimal. Kalau praktek pribadi kan memang jumlah pasien saya hanya sekitar 10-15, jadi masih bisa berlaku edukasi dan konseling. Kalau di rsud, kasian pasien yang paling belakang, kapan pulangnya? Karena setelah antre di poli, mereka mesti antre di apotik. Kasian kan? :( Masa mesti kemping buat tebus obat. Kadang saking antrenya, obatnya baru bisa diambil esok harinya lho. Kasian lagi kan?
Berhubung saya mau kerja, curcolnya nyambung sore ya? Semoga jadi gambaran bahwa dokter indonesia bukan kriminal.