Cinta

Cinta
Demi Wildan

Bebek

Bebek
Jepret-jepret karya WIildan

Selasa, 27 September 2011

Panggilan Hati

Pertama kali menginjak "klinik" ini, hati saya langsung terhempas berkeping-keping. Setelah berjuang 5,4 tahun, masa saya berakhir di "klinik" kampung yang berlabel RSIA ini? Duh, trenyuh rasanya mengingat pengalaman 2 tahun saya sebagai part-time di RSIA laris berargo kuda di bilangan Kampung Melayu. I didn't deserve this. Harusnya saya di RS besar yang mewah, bersih, harum, dan serba lengkap fasiilitasnya. Ini sih sudah pernah saya alami waktu PTT dulu, masa sekarang begini lagi? Di tengah kampung, diantara masyarakat sosial ekonomi bawah, gedung sederhana, perawat yang masih hijau, bahkan kambing berkeliaran di halamannya. Oooh...pleaseee

Setengah hati saya menemui ownernya yang menelpon saya sebelumnya. Mereka mengetahui nomor saya dari salah seorang senior saya. Saat bincang-bincang dengan sang owner, saya sudah tetapkan akan menolak tawaran ini. This wasn' t for me.....I would dropped dead here. Sang owner sendiri adalah pasangan perawat dan bidan asli kampung tersebut, yang harus saya akui memiliki cita-cita mulia meningkatkan derajat kesehatan setempat. Mereka membangun sebuah tempat praktik bidan secara bertahap sampai memiliki plang RSIA seperti sekarang (walaupun sejujurnya menurut saya plang RSIA itu belumlah pantas disandang). Mereka terpicu oleh sulitnya masyarakat setempat mengakses layanan rumah sakit yang terdekat. FYI, lokasi kampung ini terisolir oleh pagar beton kawasan industri MM2100 Cibitung. Bila mereka harus mendapatkan perawatan RS, maka jarak yang harus ditempuh sekitar 10 km ke arah Cikarang. Jadi mereka bertahap membangun klinik mereka sampai akhirnya memiliki layanan RS tipe D. Setidaknya ada fasilitas radiologi, farmasi, laboratorium dan rawat inap. Dan pasien yang masuk tidak harus menyetor DP terlebih dahulu. Suatu tujuan dan cita-cita yang ternyata sangat menyentuh hati ayah saya.

Saat saya sampaikan pada beliau bahwa saya tidak mau menerima tawaran mereka dengan alasan jauhnya jarak tempuh, kondisi dan kecilnya pembayaran, beliau menasehati saya. Kata Bapak, di RS lain yang besar-besar itu, sudah banyak dokter anak yang ngurusin pasiennya. Sedangkan di sini ngga ada yang ngurus. Apa ngga kasian sama anak-anak sini kalau sakit tidak dapat terapi yang tepat? Lagipula kan hidup tidak sekadar mengejar materi belaka, apalagi profesi dokter, masih banyak kewajiban sosial yang harus dijalankan.

Degg...rasanya mata saya seperti dibuka. Benar, sejauh ini kok rasanya saya menjadi jiwa materialis,ya? Jujur saya memang tidak pernah berlebih, tapi juga ALLAH ngga pernah memberikan saya hidup kekurangan. Jadi apa salahnya saya mengembalikan rasa syukur kepada ALLAH di sini? Tempat saya lebih dibutuhkan, toh rizki akan terbuka sendiri bila saya mengetuk di pintu yang tepat. Insya Allah, bila saya melakukan ini, Allah juga tidak melupakan saya. Dan singkat kata, saya menerima tawaran tersebut, walau terkadang keterpaksaan masih sering mengiringi langkah saya.

Tapi Subhanallah, saya justru belajar banyak di sini. Ketajaman klinis saya berulang kali diuji di sini. Pasien APCD, asfiksia, sepsis, gizi buruk, anemia gravis, meningitis, dll ada di sini. Sesuatu yang mungkin saya tidak akan dapatkan di RS besar dengan segudang konsulen ada di sana, karena saya pasti akan merujuk kepada yang lebih kompeten. Tapi di sini, saya tidak bisa merujuk ke mana-mana, karena pasien akan menolak dengan alasan biaya. Dan saya tidak mungkin memulangkan mereka begitu saja bila mereka menolak di rujuk. Dengan segala keterbatasan, saya harus merawat mereka.  Saya harus berpikir keras agar dapat mendiagnosis tanpa menggunakan alat canggih. Mata, hidung, kulit dan telinga saya dipaksa menjadi alat diagnostik. Kreatif adalah jalan saya mengatasi keterbatasan alat.

 Contoh yang akan saya ingat seumur hidup adalah mengubah sebuah toples plastik bening menjadi head box karena ada bayi yang asfiksia. Bayi yang saat dikonsulkan kepada saya sudah dalam kondisi biru, apneu periodik dan letargis. Sang ayah tidak mau dirujuk karena pekerjaannya serabutan, tidak punya uang. Lalu apakah dipulangkan saja? Rasa kemanusiaan yang bekerja. Dengan antibiotik seadanya, cairan infus seadanya, inkubator seadanya (saya bilang inkubator telor ayam), oksigen head box made in Rini, blue light abal-abal dari lampu UV-nya phillips, alhamdulillah hari ini, hari ke tujuh, bayi tersebut sudah fullfeed, lepas oksigen, sedang belajar minum dan sangat aktif, walau kuning masih ada.  Semoga besok dia bisa pulang dan tidak ada kerusakan permanen.

Hhmm, dan memang janji Allah tidak pernah ingkar, alhamdulillah satu demi satu pintu terbuka buat saya. Namun rasanya saya tidak akan meninggalkan lingkungan ini, tidak dalam waktu dekat. Paling tidak sehari dalam satu minggu akan saya tempatkan untuk melayani mereka.Insya Allah, saya tidak ingin berubah!